Selasa, 10 Juni 2008

Kekerasan yang melingkar-lingkar, salah siapa ?

Kehidupan masyarakat Indonesia saat ini penuh dengan kekerasan baik berupa kekerasan personal, institusional maupun struktural. Setiap hari kita dihadapkan pada informasi mengenai terjadinya kekerasan, baik berupa teror bom yang menjadi tren/kecenderungan saat ini, pembunuhan, perkosaaan, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak baik fisik maupun psikis, kekerasan terhadap pembantu rumah tangga, dan jugaketimpangan social dan ketidakadilan yang merupakan pemicu dari kekerasan itu sendiri. Begitu banyak pengungsian terjadi di Aceh, Kalimantan Barat, Poso, Ambon, Timor Barat dll yang kesemuanya merupakan korban dari tindak kekerasan akibat konflik politik dan SARA yang begitu banyak menyeret rakyat kecil yang tidak tahu menahu dengan masalah politik dan SARA. Banyak diantara kita yang pasti tidak tega menyaksikan mereka yang menjadi korban kekerasan seperti misal korban bom di gereja maupun ditempat umum (seperti di Bursa Efek Jakarta maupun Plaza) dan selalu mengutuk para pelaku kekerasan. Namun mereka yang menyukai kekerasan dan mengambil jalan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan seolah-olah menjadi buta matanya dan tuli hatinya, telah kehilangan daya nalar dan hati nuraninya dan terus melanjutkan kegitannya menebar ketakutan dan kekerasan dimana-mana. Selalu saja muncul kekerasan yang seolah-olah melingkar lingkar tak bertepi dan menjadi tugas kita semua untuk mencari jalan keluar sehinggga terwujud impian masyarakat yang adil dan damai.


Akar penyebab kekerasan

Sangat sulit membuat daftar akar penyebab terjadinya kekerasan, karena kekerasan sebenarnya merupakan permasalahan yang tidak berdiri sendiri dan terkait dengan sistem yang ada dalam tatanan kehidupan masyarakat kita serta bagaikan spiral yang terus melingkar –lingkar, dalam artian kekerasan yang satu menumbuhkan kekerasan lainnya. Kita tidak dapat menganggap kekerasan sebagai masalah yang sederhana, dan harus menjadi fokus perjuangan kita semua untuk melawan kekerasan dalam segala bentuknya. Tokoh anti kekerasan yang terkenal seperti Mahatma Gandi, Martin Luther King Jr Uskup Agung Dom Helder Camara, Ibu Gedong dari Bali , Romo Mangun, Gus Dur dll perlu diteladani dan ditindaklanjuti oleh generasi penerus dalam memperjuangkan perlawanan terhadap kekerasan dalam segala bentuknya baik oleh perorangan, institusi maupun atas nama negara.
Kekerasan biasanya dapat berupa ketidak adilan baik menyangkut ;
Ø tidak diindahkannya hak-hak dasar yang dimiliki manusia itu sendiri seperti tercantum dalam piagam HAM,
Ø masalah ketidakadilan gender,
Ø upah yang rendah dan tidak manusiawi,
Ø hak konsumen yang diabaikan,
Ø hak cuti yang tidak diberikan sepenuhnya untuk para pekerja
Ø tidak tersedianya lapangan kerja bagi rakyat
Ø harga komoditi pertanian yang terlalu rendah dan tidak adil,
Ø penganiayaan fisik maupun psikis terhadap perempuan, istri, anak, orang lain
Ø kebijakan pembangunan yang terpusat di perkotaan
Ø kebijakan yang menggusur kaum marginal
Ø mahalnya biaya pendidikan yang tidak terjangkau rakyat kecil
Ø KKN yang meraja lela
Ø Pelayanan publik yang kurang baik dan cenderung diskriminatif hanya untuk kota dan kurang perhatian untuk daerah terpencil dari pemerintah
Ø Penguasaan dan pengusahaan SDA(tanah/ lahan , tambang, hutan dll) maupun akses informasi yang hanya terpusat pada golongan elit
Ø Tirani minoritas maupun mayoritas
Ø Pengebirian kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat baik lisan maupun tulisan yang dimiliki rakyat.
Ø Monopoli dalam perdagangan
Ø Dan masih banyak lagi yang belum disebutkan.

Lawanlah kekerasan!

Kekerasan dalam segala bentuknya tidak dapat diterima meskipun dengan alasan yang sangat logis dan pembenaran yang rasional. Melawan kekerasan adalah inti dari perjuangan menegakkan demokrasi, mewujudkan kasih kepada sesama, meningkatkan keberadaban kita sebagai manusia beradab ciptaan tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa. Menyelesaikan segala konflik dan pertikaian dengan kekerasan sebenarnya tidak menyelesaikan masalah, namun justru menambah masalah baru yang lebih runyam dan meyulitkan untuk dicari solusinya. Kita harus bijak menentukan sikap dalam menyelesaikan setiap masalah/konflik yang kita hadapi dengan pendekatan anti kekerasan dan anti anarkhi, seperti halnya motto Perum Pegadaian yakni menyelesaikan masalah tanpa masalah. Melawan kekerasan dengan kelembutan hati hanyalah salah satu cara untuk tidak terjebak masuk dalam lingkaran spiral kekerasan. Kita harus melihat akar masalah kekerasan yang terjadi antara lain ketidak adilan. Mengurangi kekerasan dan menggantikan dengan budaya beradab yang mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat hanya dapat abadi kalau kita mampu mengurai benang ketidak adilan yang terjadi diseputar kita, serta melakukan penyadaran/konsientisasi baik pada kaum penindas maupun kaum tertindas sehingga dapat dicapai kompromi yang dapat diterima oleh semua kalangan yang terlibat dalam konflik. Maka melawan kekerasan, tidak hanya menyuarakan kasih dan meningkatkan derajat pemahaman kita terhadap religiositas, tetapi juga tindakan praksis penerapan ajaran agama untuk melawan setiap bentuk penindasan, termasuk yang dilakukan oleh lembaga agama sekalipun, sehingga agama bukan merupakan candu dan memberikan impian kosong, melainkan menjadi garam dan terang yang mampu mengubah kehidupan diseputar kita menjadi lebih manusiawi dan lebih beradab. Karena pengalaman selama ini mengajarkan kepada kita tentang tidak adanya jaminan yang mengatakan bahwa tidak akan ada lagi tindak kekerasan dari masyarakat yang mengaku agamis maupun jaminan yang pasti dari negara akan hak hidup dan hak milik warga negara. Kita dapat melihat dengan jelas bahwa perbedaan sikap beradab dan biadab sangat tipis, hanya dibatasi satuan waktu. Ketika orang Madura masih bisa saling tersenyum dan saling mengasihi dengan orang Dayak maka kita katakan sebagai masyarakat beradab, namun ketika mereka saling menyerang dan membunuh tanpa rasa kemanusiaan kita katakan sebagai biadab, demikian pula di Ambon ketika masyarakat asli Ambon/Maluku dengan pendatang terutama BBM (Buton, Bugis, Makassar) hidup berdampingan secara damai dengan tradisi budaya kerukunan yang kuat meski berbeda agama, suku dll maka kita katakan masyarakat yang beradab, namun ketika mereka saling membantai dan menjadi dua kubu yang bermusuhan yakni kubu merah melawan putih (bukan merah putih yang menyatu seperti bendera Indonesia) maka masyarakat sudah terjerumus ke situasi yang biadab dimana kita dapat melihat para lansia yang tidak kuat berjalan harus digendong utnuk menyelamatkan diri dari kebinasaan akibat tembak menembak dua kubu yang berlawanan dan anak-anak yang menangis histeris ketakutan dalam rangkulan dan gendongan ibunya yang mencoba memberi perlindungan kepada anak yang dikasihinya untuk terus dapat bertahan hidup. Perang antar suku yang memperebutkan sebidang tanah seharusnya tidak perlu terjadi apabila ada kesadaran akan pentingnya distribusi lahan yang adil bagi kedua belah pihak dan jika perlu mengajak kedua belah pihak untuk mengelola secara bersama untuk memenuhi kebutuhan bersama sebagai wujud hidup berdampingan secara damai dan solidaritas sejati. Kekerasan selalu mengorbankan orang-orang yang lemah seperti perempuan, anak-anak , lansia maupun para penyandang cacat. Pelaku kekerasan yang merasa sebagai pahlawan hendaknya menangisi dirinya sendiri yang merasa heroik, namun mengorbankan mereka yang lemah. Keperkasaan mereka dalam kekerasan sebenarnya tidak pernah menang secara hakiki, karena mereka hanya menang melawan orang-orang lemah dan yang lebih penting adalah mereka dikalahkan oleh rasa kemanusiaannya sendiri yang beradab ketika memuja kekerasan yang melawan kemanusiaannya sendiri. Demikian pula dikalangan birokrat pemerintahan yang mengambil kebijakan untuk kepentingan publik, hendaknya menyadari ketika kebijakan yang dituangkan dalam Perda maupun peraturan lainnya menumbuhkan dan menyinggung rasa ketidak adilan dari rakyat, maka anda sebagai birokrat secara tidak langsung sebenarnya melakukan kekerasan secara sistemik/sistematis yang berdampak luas karena akan menimbulkan perlawanan maupun pembangkangan rakyat baik aktip seperti demo-demo maupun pasif seperti tidak mau membayar pajak dll. Maka menjadi kewajiban kita semua dengan talenta yang dipunyai untuk mewujudkan keadilan sebagai bukti bahwa kita melawan kekerasan yang ada dimasyarakat. Kita ciptakan aturan –aturan yang lebih memihak rakyat banyak, memberi rasa keadilan, menumbuhkan rasa solidaritas sejati dikalangan rakyat sebagai satu bangsa yang besar dan beradab seperti halnya semboyan bhinekka tunggal ika..
Dan kita ciptakan pasar yang adil, pembangunan prasarana dasar yang merata terutama untuk daerah terpencil, kita bangun perekonomian rakyat melalui ekonomi kerakyatan, kita didik masyarakat melalui pemberdayaan dalam segala bidang terutama pemberdayaan politik rakyat sehingga menjadi kritis dan cerdas dengan memberikan pendidikan formal maupun non formal yang murah dan terjangkau, kita distribusikan asset negara berupa Sumber Daya Alam (SDA) bukan pada segelintir elit tetapi pada rakyat yang berada di lokasi sekitar keberadaan SDA sehingga mereka dapat menjaganya serta dapat menikmati kehidupan yang lebih sejahtera dari pengelolaan SDA tersebut. Mari kita jauhkan retorika, kita singsingkan lengan kita dan kita uji kesungguhan kita semua dalam keberpihakannya kepada rakyat banyak melalui program kerja kita dalam ikut serta menciptakan perdamaian dan keadilan di bumi NTT khususnya, dan Indonesia pada umumnya Jangan lagi kita mengulang kesalahan yang sama memuja kekerasan sebagai jalan penyelesaian, melainkan kita bangun demokrasi yang santun, jauh dari kekerasan, serta membawa masyarakat dalam proses dialogis yang sehat, transparan, rasional sebagai wujud dari dialog iman, dialog karya dan aksi. Kita ziarahi kehidupan kita dengan lebih mengedepankan nilai-nilai moralitas dalam mencapai pencarian kehidupan yang hakiki yang terbebas dari nafsu kesewenang-wenangan/kekuasaan, sehinggga wewenang yang ada pada kita bukan untuk menambah kekerasan, melainkan menjadi peminpin yang melayani dan tidak bermental BOS yang mampu memberi rasa sejuk, damai, dan yang lebih penting mewujudkan suasana adil dalam kedamaian dan damai dalam keadilan. Kita bangun komunitas masyarakat yang tercukupi secara materi, namun tidak mengabaikan spritualitas iman dalam setiap tindakan kita sehingga kita akan mencapai oase yang sejuk dalam kedamaian abadi di surga.Semoga !!!

Tetap merdeka dalam keterpurukan ?

Setiap memasuki bulan Agustus, kita selalu diingatkan oleh peristiwa heroik yang terjadi di era tahun 45 ketika dengan gegap gempita serta dalam kondisi yang serba seadanya atau bahkan kekurangan, kita sebagai bangsa memproklamirkan kemerdekaannya. Saat ini dalam rangka memperingati hari kemerdekaan , kita disepanjang jalan dapat menemui beberapa kendaraan yang melilitkan sebuah bendera ukuran kecil yang kita hormati dan kita pertahankan dengan pengorbanan jiwa berupa bendera merah putih. Masih segar dalam ingatan ketika sekolah di SD guru saya menjelaskan tentang arti warna bendera kita dimana merah diartikan berani dan warna putih artinya suci dan diajari menyanyi lagu “berkibarlah benderaku …”. Maka dikaitkan dengan situasi yang terjadi di tanah air saat ini, saya mencoba merenung kembali apa sebenarnya arti kemerdekaan bagi pribadi saya ditengah keterpurukan bangsa ini, dan ditengah perebutan kekuasaan yang tanpa etika dan moral yang lebih mengedepankan kepentingan golongan maupun partai ? Ketika kita melihat tingkat kesulitan hidup yang luar biasa bagi saudara-saudara kita yang masih terhimpit dan terjepit kesulitan ekonomi untuk dapat memenuhi kebutuhan mempertahankan hidup secara fisik saja, ketika ribuan bayi. balita dan batita mengalami ketidaknormalan pertumbuhan baik fiisik, intelektual maupun psikis karena gisi buruk, ketika banyak anak tak mampu lagi bersekolah, ketika semua harga kebutuhan dasar, tarif listrik, tarif telepon, tariff BBM melonjak dan tak terjangkau, ketika kelaparan melanda dibeberapa daerah di Indonesia, ketika bom meledak di berbagai daerah, dan ketika kita bertanya mengapa semua ini terjadi padahal kita telah merdeka selama 60 tahun ? Tidak mudah menemukan jawab, dan mari kita tanya kepada rumput bergoyang, sejauh mana kita sebagai pribadi/personal sebagai warga negara yang baik ikut menyumbang kebaikan bagi negeri ini ? Seperti yang didengungkan oleh seorang Kennedy Presiden AS yang terkenal yang menyatakan ; ‘Jangan tanyakan apa yang diberikan negara kepadamu, tetapi tanyakanlah apa yang telah kau berikan untuk negaramu ?’

Mengulang rutinitas

Ketika tanggal 17 Agustus sudah mulai dekat, kita selalu melihat banyak pagar depan rumah dan kantor diperbaiki dan dicat kembali, diberbagai jalan dipasang umbul-umbul bendera, pemasangan gapura, diadakan lomba baris berbaris, panjat pinang dsb, ada kegiatan hiburan dengan berbagai macam atraksi yang digelar, dan pada saat 17 Agustus maka beramai-ramai kita melakukan upacara bendera untuk memperingati hari proklamasi yang mengantar kita sebagai sebuah bangsa yang merdeka, bermartabat dan berdaulat. Semua rutinistas ini selalu berulang setiap tahun dan jangan sampai kita secara tak sadar terjebak dalam suatu rutinitas yang tak bermakna. Apakah kita sebagai sebuah warga dari bangsa yang merdeka benar-benar merasakan makna penting dari sebuah kata merdeka ? Atau kita tidak peduli lagi dengan semua yang terjadi di republik ini ? Sudah saatnya bagi kita untuk merefleksi kembali dan menggugat arti dari keadaan ‘merdeka’ dalam artian yang sebenarnya !. Ketika 60 tahun berlalu dan kita memasuki milenium ke tiga , kita dapat bertanya kembali sudah sejauh mana perjalanan kita sebagai bangsa yang mempunyai cita-cita kedepan untuk masyarakat Indonesia ? Bukankah para pendiri bangsa sudah memandu kita melalui pembukaan UUD 45 yang didalamnya memuat arahan bagi kita dalam mewujudkan masayarakat yang adil dan makmur ? Ketika Bapak pendiri bangsa mengamanatkan dalam pembukaan UUD 45 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pertanyaannya untuk kita semua sudah seberapa banyak dari warga kita yang benar-benar cerdas dan kritis, bukan hanya sekedar mempunyai gelar akademis S1, S2. S3 ? Atau masih banyak diantara kita yang melacurkan intelektualitasnya demi kemapanan hidup, menjaga status quo, memikirkan diri dan keluarganya saja, memperoleh jabatan yang berarti memperoleh fasilitas dan angpao, memutarbalikkan fakta dan kebenaran, memenuhi dan memuja hedonisme untuk diri kita ? Seberapa banyak para birokrat kita yang dengan kecerdasannya dan kearifannya mampu meningkatkan harkat hidup dan kesehjahteraan masyarakat, terutama masyarakat miskin di daerah terpencil ? Seberapa jauh para akademisi dengan kemampuan intelektual dan ilmunya mampu mengurai dan mengurangi kesulitan yang dihadapi masyarakat kecil melalui penggunaan teknologi, penerapan sistem ekonomi yang memihak rakyat maupun ilmu-ilmu lainnya yang terkait langsung dengan kehidupannya ? Seberapa banyak pemuka agama yang mampu membebaskan umatnya dari rasa putus asa karena menjadi pengangguran akibat tidak memperoleh kerja sebagai penopang hidup dan wujud dari aktualisasi dirinya ? Seberapa banyak polisi yang benar-benar mempunyai keinginan untuk mengayomi dan memberikan rasa aman kepada warga masyarakat ? Seberapa banyak dokter dan paramedis yang benar-benar melayani masyarakat dengan sepenuh hati untuk dapat sembuh dari penyakit dan penderitaaan yang dialaminya ? Atau kita semua dari berbagai profesi sudah terlilit dalam kubangan materialisme dan hanya uang dan materi yang mampu menyemangati dalam kehidupan kita. Ketika kita melihat dalam kehidupan kita sehari-hari adanya perampokan secara kasar oleh penjahat maupun secara halus oleh pejabat melalui KKN yang menumbuhkan kebencian dari masyarakat karena membuahkan kekerasan dan ketidak adilan dalam masyarakat, maka perayaan kemerdekaan dapat menjadi ajang refleksi bagi kita semua, apakah kita benar-benar paham arti sebuah kemerdekaan atau kita hanya sekedar ikut meramaikan saja supaya kelihatan sok nasionalis ?
Merampok uang rakyat, menggunakan kekuasaan untuk kepentingan keluarga, golongan maupun kelompoknya merupakan tindakan orang-orang yang belum merdeka karena terbelenggu oleh penguasaan materi dan kekuasaan dan selalu merasa terperangkap dalam nafsu serakah dan kekerasan.


Merdeka dalam keadilan

Mari kita rayakan kemerdekaan dengan kesungguhan hati , kebeningan nurani, kepekaan sosial yang tinggi, kecerdasan yang kita miliki, kearifan, dan mempertanggungjawabkan kemerdekaan yang kita alami semuanya pada Sang Maha Adil. Kita gunakan momen yang penting dan bersejarah ini untuk tidak terjebak dalam rutinitas, namun mampu menggali arti hakiki dari sebuah kemerdekaan. Masing-masing dari kita sebagai warga negara yang baik dengan talenta yang kita punyai dan profesi kita mampu menyumbang rasa keadilan dalam pembangunan republik ini sehingga tidak justru sebaliknya memanfaatkan semua peluang / celah hukum maupun sistem kontrol untuk melakukan KKN dan sebangsanya yang merugikan negara dan menimbulkan ketidakadilan yang berujung pada tumbuhnya kekerasan dalam masyarakat dan ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagai penyelenggara negara. Kita cermati UUD 45 yang belum terealisasi untuk kita realisasikan sebagi wujud penghormatan kepada para pejuang yang telah gugur membela kemerdekaan maupun para pendiri bangsa yang dengan susah payah memerdekakan negeri ini dari penjajahan. Kita lakukan amandemen UUD 45 untuk menyempurnakan tatanan republik ini sehinga lebih demokratis, berkeadilan dan beradab. Jangan ada lagi penjajahan gaya baru baik oleh bangsa kita sendiri maupun bangsa lain, berupa penjajahan ekonomi, hukum maupun lainnya atas nama globalisasi. Mari kita wujudkan kata merdeka dalam tindakan, bukan sekedar teriakan yang hanya enak didengar namun tidak ada implikasinya dalam mensejahterakan rakyat. Hidup rakyat Indonesia yang mampu merdeka dalam berpikir dan berpikir merdeka !!!!

Menunggu tenggelamnya “Merah Putih di tiang Perahu retak bangsa” melalui disintegrasi dan konflik elit politik ?

Menyimak dan mengamati perkembangan politik ditanah air, terkadang menumbuhkan rasa sesak di dada karena timbulnya rasa iba, malu, pilu dan berbagai gejolak hati yang tak mampu terungkap dan terucap lewat kata. Alangkah menyedihkan kondisi perpolitikan kita saat ini, yang sebenarnya dikemudikan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas intelektual yang tinggi (sebagian dari mereka adalah Doktor) maupun sebagai pimpinan umat (minimal mantan pemimpin), namun dalam kenyataan mereka begitu hobi berkonflik satu dengan yang lain. Mereka, para pimpinan politik seolah-olah berlaku sebagai petinju seperti halnya Mike Tyson, yang siap bertarung dengan siapa saja asal memperoleh bayaran yang tinggi. Memukul lawan mainnya bagi Tyson adalah rejeki, dan keterjungkalan lawan mainnya berarti kemenangan bagi dirinya serta mengukir prestasi dunia yang akan dielu-elukan para penggemarnya. Jika perlu untuk memenangkan pertandingan perlu “bermain cantik” dengan menggigit telinga lawan mainnya. Padahal menurut masyarakat, menggigit telinga seseorang adalah tindakan tidak terpuji dan kejahatan kriminal kekerasan. Para elit politisi kita saat ini telah berlaku seperti halnya petinju yang hanya melihat pihak yang berbeda adalah lawan yang harus dirobohkan, menjadikan negara sebagai tempat/ ajang ring tinju dan masyarakat menjadi suporternya.

Etika politik diabaikan

Inilah wajah perpolitikan Indonesia yang dimainkan oleh orang-orang pintar, cerdas, namun kurang berwawasan kebangsaan, kurang bersikap kenegarawanan dan senang menggunakan berbagai rekayasa politik, memainkan rasa etnis, suku, keagamaan secara berlebihan. Agama ditarik kebawah menjadi lebih rendah nilainya dan cenderung dipolitisir, sehingga agama yang menjadi tuntunan hidup yang sakral telah dibelokkan hanya untuk merebut maupun mempertahankan kekuasaan. Sentimen agama mulai dibangkitkan diantara pengikutnya dan benturan elit politik tingkat vertikal berubah menjadi bencana bagaikan air bah ketika ditarik ketataran horizontal. Sebagian masyarakat kita yang dalam kondisi terengah-engah mempertahankan hidup bagaikan orang yang menunggu ajal dengan napas yang tinggal satu-satu akibat krisis multi dimensi, ternyata kondisi tersebut sama sekali tidak mampu menggugah sense of crisis para pemimpin politik kita untuk lebih mengedepankan kepentingan rakyat banyak daripada hanya melakukan perebutan kekuasaan. Hati nurani dan kepekaan sosial kemanusiaan mereka telah sirna dan digantikan kepongahan akan kekuasaan, baik di eksekutip, legislatip maupun yudikatip. Para politisi menjadi buta dan tuli hatinya, meskipun bangsa ini telah diberi sinyal tanda jaman dari “Sang Pencipta” melalui berbagai bencana baik bencana alam (gempa bumi, banjir, angin topan, longsor dll) maupun bencana politik (Aceh, Sambas, Sampit, Ambon, Poso, Papua dan kota mana lagi yang akan menyusul ?) Masih kurang banyakkah korban-korban anak negeri yang tidak berdosa namun harus meregang nyawanya hanya karena mereka hidup bukan di tanah kelahirannya, meskipun tanah yang didiami masih termasuk tanah airnya yakni Indonesia ? Salahkah mereka yang berstatus sebagai pendatang ingin menggapai kehidupan yang lebih baik di tanah orang, namun masih dinegeri sendiri melalui transmigrasi baik oleh pemerintah maupun atas kehendak sendiri? Salahkah penduduk lokal yang marah karena tidak diberi peran dan dipersiapkan sejak awal dengan perlakuan khusus oelh pemerintah ORBA maupun Orde Refoemasi untuk mampu bersaing di alam pembangunan sehingga mereka saat ini hanya menjadi penonton pembangunan didaerah kelahirannya sendiri ? Salahkah warga lokal yang merasa keadilan hanya sebuah retorika, karena mereka harus terus menerus hidup susah dengan ekonominya yang ‘lemah lembut’, tergusur dari tanahnya, diperlakukan dengan kekerasan, sementara para pendatang menguasai berbagai bidang strategis baik di pemerintahan, ekonomi, maupun politik ? Siapakah sebenarnya pemilik bumi yang kita diami ini ? Bukankah Tuhan menciptakan bumi untuk didiami manusia dari berbagai suku bangsa untuk saling mengenal dan menyempurnakan satu dengan lainnya ? Lalu jika terjadi konflik seperti saat ini, menjadi tanggung jawab siapa, salah siapa, dan dosa siapa ? Jangan kita bertanya pada rumput yang bergoyang seperti lirik yang dilantunkan Ebiet karena goyangan konflik ini mampu mengkoyak perahu bangsa Indonesia yang telah retak dan tinggal menunggu tenggelam dihantam krisis multi dimensi dan konflik elit politik dan meruntuhkan “Merah Putih “ yang dikibarkan diatas perahu kita. Apa yang harus kita lakukan bersama-sama untuk menyelamatkan perahu retak Indonesia akibat tidak digunakannya etika oleh para elit politik kita baik semasa ORBA maupun sekarang ini ? Mampukah kita yang berada jauh dari pusat kekuasaan (Jakarta) menyuarakan keprihatinan dan litani kesengsaraan para pengungsi, kaum pinggiran, sopir angkutan umum yang diperas preman, buruh-buruh kecil, para penganggur yang kebingungan mencari kerja dan menanggung beban ekonomis dan psikis, dan mereka semua rakyat kecil yang seharusnya diberi perlindungan dan diringankan penderitaannya, namun dalam kenyataan hanya diabaikan dan dipandang sebagai pelengkap penderitaan dari sebuah pembangunan bangsa yang mengaku berbudaya dan beradab ? Mungkin para politisi jika ditanya tidak akan lupa dengan kelima sila PancaSila sebagai sebuah hapalan, namun sebagai perwujudannya banyak elit politik yang sudah melupakan makna hakiki dari setiap sila yang menjadi falsafah bangsa, yang mengikat kita semua sebagai sebuah bangsa yang mengaku besar namun kerdil dalam menyikapi krisis multi dimensi yang kita alami bersama.

Kompromi politk melalui rekonsiliasi

Kata rekonsiliasi telah menjadi kosa kata yang kita kunyah dan telan setiap hari seperti halnya makanan yang harus kita makan kalau kita ingin tetap sehat, bugar, dan melakukan aktivitas “memuliakan Sang Pencipta” melalui hasil kerja kita dalam keseharian. Ketika kita menyadari bahwasanya kerja bukan hanya untuk memenuhi “kebutuhan jasmani”, namun juga memenuhi kebuthan akan ‘makanan rohani’ , maka kita perlu menanyakan kepada diri kita sendiri, apa sumbangan kita sebagai anak bangsa / negeri yang sedang melihat kondisi bangsa yang mengalami kesakitan luar biasa untuk mengurangi rasa sakit yang dihadapi bersama ? Maukah kita memulai dari lingkungan yang terkecil yakni keluarga batih untuk melakukan rekonsiliasi diantara anggota yang berseteru menuju kompromi untuk membangun kesatuan keluarga ? Jika hal ini terus dapat dilakukan berjenjang sampai tingkat bangsa sebagi sebuah keluarga, maka akan mendorong para elit politik untuk kembali menumbuhkan rasa malu dalam dirinya, sehingga mereka meyadari akan ‘ketelanjangan ambisi kekuasaannya’ yang mengorbankan rakyatnya. Mari kita suarakan secara lantang dan bersama-sama akan kebosanan dan kemuakan kita terhadap perilaku elit politik yang sudah tidak lagi berbusana etika politik dan nilai-nilai luhur warisan budaya leluhur kita. Pemimpin yang demikian seharusnya tidak lagi pantas memimpin negeri (yang indah dengan sejuta pulau, bhineka tunggal ika, kaya akan nilai budaya dan SDAdll), dan sebaiknya dinatara mereka melakukan kompromi politik melalui rekonsiliasi total, dan menyerahkan kepemimpinannya pada politisi muda yang etis , berwawasan kebangsaan, kenegarawanan, dan bermoral tinggi demi kepertingan rakyat.

Suksesi politisi muda

Setelah melakukan kompromi melalui rekonsialisi total, minimal keempat tokoh yang dianggap tokoh nasional ini sebaiknya berkompromi untuk memilih sekumpulan politisi muda dari 200 juta rakyat Indonesia yang terbebas dari kontaminasi KKN ORBA maupun rejim reformasi yang gagal mengemban amanat reformasi. Biarlah suksesi kepemimpinan nasional tidak ditandai dengan kekerasan, korban jiwa yang tak perlu, bencana politik yang akan semakin menyusahkan rakyat. Beri kesempatan kepada sekumpulan politisi muda ini untuk menyiapkan pemilu yang dipercepat dengan sistem pemilihan langsung yang jujur, demokratis dan terbebas dari money politic. Diharapkan yang tampil sebagai pemenang adalah seorang Presiden muda usia sehat jasmani dan rohani namun penuh dengan kearifan dan kebijaksanaan, Ketua MPR yang masih muda usia namun sangat memperhatikan kepentingan rakyatnya seperti halnya tokoh pergerakan kemerdekaan kita dan Ketua DPR yang meski muda usia namun punya prinsip bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan aspirasi rakyatlah yang disuarakan, bukan aspirasi golongan, apalagi membangun konspirasi politik yang tidak sehat dan malakukan money politic yang tidak etis. Kata orang bijak, jumlah usia tidak menentukan bijaksana atau tidaknya seseorang, melainkan hati nurani yang jernih, kejujuran, kecerdasan, solidaritas sosial yang tinggi, religiositas tinggi yang memandang jabatan pemimpin sebagai amanah, mau melayani dan mempertanggungjawabkan hasil kepemimpinannya kepada Sang Khalik. Kita tunggu munculnya pemimpin muda yang cerdas, berbudi luhur, bijaksana, mempunyai wawasan luas yang mampu membawa Indonesia kearah masyarakat madani yang demokratis, beradab, berbudaya, berkeadilan dan sejahtera lahir batin. Mari kita kepakkan sayap-sayap kita yang meskipun patah namun masih tetap mencoba untuk terbang menggapai tempat tujuan, dan tidak berdiam diri menunggu tenggelamnya perahu retak bangsa bersama merah putih ditiangnya yang berbendera dan berkebangsaan Indonesia. Jangan lagi kita mengulangi kesalahan tenggelamnya kapal mewah ‘Titanic’, dimana ruang mesin telah kemasukan air, namun para penumpang elit, kaum borjuis yang diatas dek masih bermain musik sambil berdansa, dan tidak sempat lagi membangunkan anak kecil yang sedang terlelap tidur dan sedang bermimpi bahwa kapalnya telah merapat ke pelabuhan tujuan. Salam merdeka dari seorang anak negeri yang tidak berarti !!!


YBT. Suryo Kusumo

Salah seorang yang prihatin akan kondisi negeri.

Pembantu rumah tangga (PRT), budak atau mitra ?

Pembantu Rumah Tangga merupakan sekelompok orang yang dinilai rendah dalam status sosial di masyarakat serta dianggap sebagai profesi kaum pinggiran yang terabaikan, terisihkan dan merupakan kelompok pekerja yang tanpa perlindungan hukum namun sangat dibutuhkan kehadirannya dalam sebuah kehidupan keluarga modern. Mereka ini adalah cermin dari sebuah potret buram masyarakat bawah yang terseok-seok meniti kehidupan dialam globalisasi tanpa ketrampilan yang berarti selain kekuatan fisik berupa tenaga yang ada padanya. Posisi tawar mereka sangat rendah terhadap ‘majikannya’, kalau tidak dapat dikatakan tanpa posisi tawar sama sekali. Kebanyakan dari mereka adalah kaum perempuan yang berasal dari desa dan mencoba masuk dalam kehidupan kota yang baginya merupakan sebuah kota impian dan penuh harapan. Namun antara kenyataan dan impian memang seringkali sangat berbeda, sehingga ketika mereka masuk dalam kehidupan realitas yang penuh dengan sandiwara dan kemunafikan, mereka harus melakonkan sebuah peran seperti halnya seorang budak, yang seringkali diperas tenaganya tanpa jam istirahat yang jelas, upah kerja yang rendah, menerima umpatan, caci maki dan perlakuan-perlakuan tidak manusiawi lainnya. Inilah awal dari sebuah kesengsaraan panjang dan litani kesedihan dari PRT yang hidup dalam situasi keterpaksaan dan tanpa pilihan.


Antara dicaci dan dibutuhkan

Kehidupan PRT memang sebuah paradoks, disatu sisi kehadiran mereka sangat dibutuhkan oleh para perempuan karir yang bekerja diluar rumah maupun para istri yang kerepotan atau malas mengurusi pekerjaaan domestik rumah tangga, namun disisi lain mereka sering sangat dibenci, dicaci maki, diumpat apabila sedikit melakukan kesalahan ataupun ketika berusaha istirahat sejenak dari kelelahan panjang yang menderanya. Padahal PRT sebelum berkerja tidak diberi orientasi dan dibekali dengan ketrampilan , namun mereka dipaksa harus belajar sambil bekerja, sehingga wajar apabila mereka sering melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kemauan dan standar minimal yang dimiliki majikannya. Sebuah ironi ketika melihat upah kerja yang diterapkan kepada mereka yang jelas-jelas sangat jauh dari upah standar minimum regional, namun dalam jam kerja mereka tidak mengenal kata istirahat. Demikian pula dalam hak-hak sebagai pekerja, mereka sama sekali tidak mampu menuntut seperti halnya para buruh, namun hanya mengandalkan kebaikan dari majikannya. Mereka setiap saat siap dipecat, diberhentikan walaupun mereka tidak mempunyai kesalahan apapun. Kebaikan hati dan pengertian dari majikanlah yang akan menyelamatkan PRT dalam kehidupannya dimasa kini dan masa depan , dan mereka sangat tergantung dari majikannya baik dalam menu makan, ketersediaan pakaian, kesehatan maupun hak-hak dasar lainnya. Padahal kita tahu bahwa mereka adalah kaum sebangsa yang kebetulan tidak beruntung dalam mengenyam kehidupan dalam era kemerdekaan bangsanya, yang tidak mempunyai pilihan lain selain sebagai PRT dalam menyambung hidupnya dan membantu orang tuanya di desa yang juga terlilit masalah kemiskinan yang mungkin sudah turun temurun. Jangan tanyakan arti keadilan bagi mereka, karena kata adil menjadi sangat abstrak dan tidak masuk dalam kehidupan mereka yang sudah biasa hidup dalam ketidakadilan dan penindasan yang terstruktur. Mereka sudah terbiasa dengan hidup penuh derita dalam kubangan kemiskinan dan tidak pernah lagi mempertanyakan mengapa semua ini harus dialaminya ? Hanya kepercayaan akan iman kepada Tuhan Yang Maha Adil yang menyebabkan mereka terus berjuang meraih kebahagiaan dalam hidup di dunia, mewujudkan kerja sebagai pengabdian kepada sesama, dan sarana untuk pemuliaan Tuhan. Mereka tidak pernah belajar teologi, namun mereka sangat meyakini bahwa hidup harus berusaha keluar dari penderitaan sebab sesuai iman yang diyakininya, Injil adalah khabar gembira bagi semua orang, termasuk dirinya. Bahkan dalam kemiskinannya, para PRT ini masih mampu menunjukkan solidaritasnya diantara mereka dengan memberi dari kekurangnya, meniru episod bijak seorang perempuan bersatus janda yang sudah jatuh miskin namun masih mampu memberi dari kekurangnya. Sementara dalam kehidupan modern kota, hal-hal bijak semacam ini sudah dianggap usang, kuno dan tak berlaku lagi karena untuk bertahan hidup kalau perlu kita mengorbankan orang lain atau memakan sesamanya, meskipun kita mengaku sebagai seorang yang beriman!

PRT, budak atau mitra ?

Memperlakukan PRT seperti halnya seorang budak belian dimasa lampau sebenarnya sudah tidak pantas lagi dijaman reformasi yang mengagungkan HAM dan menjunjung tinggi hak setiap warga untuk memperoleh pekerjaan secara layak. PRT sebenarnya bukanlah pembantu/budak kita, namun sebagai pekerja yang kebetulan membantu kita. Maka hak-hak seorang pekerja harus diberikan kepada mereka, baik dalam jumlah maksimum jam kerja setiap minggu, jaminan hidup yang layak maupun perlakuan manusiawi lainnya. Bukankah mereka adalah kaum sebangsa kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang kebetulan kurang beruntung nasibnya? Atau kita sudah tidak peduli lagi, karena kita lebih berorientasi pada hal ekonomis menyangkut penghematan biaya, dibanding menghormati harkat dan martabat seorang manusia sebagai mahluk ciptaan yang secitra denganNYA ? Bukankah kalu kita merendahkan harkat dan martabat PRT berarti juga ikut merendahkan Sang Pencipta ? Atau kehidupan keagamaan kita hanya berlaku ketika kita beribadah pada hari tertentu saja dan tidak perlu tercemin dalam perilaku kehidupan keseharian kita ?


PRT = Pekerja Rumah Tangga

PRT untuk saat ini dan ke depan sebaiknya bukan lagi kepanjangan dari Pembantu Rumah Tangga melainkan Pekerja Rumah Tangga. Dengan mengakui mereka sebagai pekerja, maka sudah sewajarnya apabila kita yang menggunakan jasanya memberikan hak-hak dasar sebagai seorang pekerja, terutama dalam jam kerjanya, upah yang layak, perlakuan yang manusiawi, jaminan hidup yang lebih baik, serta hak-hak sosial sebagai warga masyarakat. Kita dapat membayangkan betapa repotnya apabila mereka tidak ada, dan kita semua harus mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga kita secara mandiri dan sendiri. Sudah saatnya kita juga ikut serta memberdayakan para pekerja rumah tangga yang ada di keluarga kita, sehingga mnereka tidak harus selamanya dalam hidupnya berprofesi sebagai PRT melainkan hanya sebagai batu loncatan untuk mempunyai ketrampilan yang lebih baik dan lebih beragam untuk kehidupan di hari depan. Mungkin mereka dapat diberi kesempatan untuk melanjutkan ke sekolah formal, belajar ketrampilan memasak, menjahit, manajemen wirausaha kecil, atau ketrampilan lainnya sehingga mereka dapat merajut hari esoknya menjadi lebih baik. Dan ketika kita melihat mereka dengan profesi yang lebih baik lagi, maka kita ikut bangga karena secara tidak langsung kita ikut terlibat mengantar seorang anak bangsa menuju kehidupan yang lebih berharkat, bermartabat dan manusiawi. Semoga semakin banyak keluarga yang mempunyai niatan suci untuk memberdayakan PRT menjadi lebih meningkat wawasan dan ketrampilannya, memperlakukan mereka secara manusiawi sebagai bagian dari keluarganya, memberikan kesempatan untuk menggunakan hak-haknya, termasuk hak istirahat dan menjaga kesehatannya.
Jangan lagi ada perlakuan yang kurang manusiawi diantara kita terhadap PRT, dan marilah mereka kita jadikan mitra , karena kita harus mempertanggungjawabkan perbuatan kita, yang mungkin saja didunia fana ini kita luput dari tangan-tangan hukum, namun kita tidak akan luput dari keadilanNYA ! Bukankah indikator keberhasilan hidup kita adalah selamat baik di dunia dan di akhirat ? Apalah artinya kita memiliki semua yang ada di dunia, namun kita kehilangan kesempatan untuk masuk dalam kerajaanNYA? . Amin.

Penerapan pertanian organik yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan di lahan kering

Sistem tebas- bakar mengkritiskan lahan kering

Kawasan lahan kering di Nusa Tenggara cukup luas dan merupakan lumbung makanan bagi masyarakat tani yang mengandalkan hidupnya dari hasil pertanian.

Dengan demikian perlu ditemukan sistem pertanian yang paling sesuai dan bersifat melestarikan sumber daya alam pertanian yang merupakan kekayaan yang dimiliki petani.

Hal ini perlu dikemukakan dan ditekankan mengingat sistem pertanian yang dilakukan di lahan kering sampai saat ini sebaian besar masih berupa tebas-bakar dan sudah mulai pada lahan yang tetap sama dari tahun ke tahun akibat semakin sempitnya lahan yang ada. Sistem tebas-bakar ini tidak begitu menjadi masalah apabila disertai dengan rotasi lahan dalam kurun waktu yang cukup lama (15 – 20 tahun). Namun kenyataan yang banyak dijumpai di Nusa Tenggara adalah lahan dibabat dan dibakar menjelang musim hujan setiap tahunnya tanpa metode pengawetan tanah, untuk ditanami jagung, padi ladang dll. . Kemiringan lahan yang cukup besar dengan curah hujan yang relatip banyak dan intensitas yang tinggi memperbesar timgkat erosi dn mempercepat terbentuknya tanah kritis.

Maka perlu dipikirkan dan ditemukan alternatip sistem pertanian lainnya yang dapat diterapkan dilahan miring untuk sumber pangan berupa palawija namun tetap mampu berproduksi tinggi dan lestari. Salah satu dari sekian banyak sistem yang ada yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah ini adalah pertanian organik.

Pengertian pertanian organik.

Menurut USDA Study Term on Organic Farming, pertanian organik dirangkum dalam pengertian sebagai berikut :

“Pertanian organik merupakan suatu sistem produksi yang menghindari atau sangat membatasi penggunaan pupuk kimia (pabrik), pestisida, herbisida, zat pengatur tumbuh dan adiktif pakan”.

Sampai tingkat maksimum yang dimungkinkan, sistem pertanian organik bersandar pada pergiliran tanaman, mendaur ulang sisa pertanaman, pupuk kandang atau kotoran ternak, legum, pupuk hijau, limbah organik dari luar usaha tani, kompos, penyiangan mekanik, batuan pengandung mineral dan aspek pengendalian hama secara biologis, untuk mempertahankan produktivitas dan kegemburan tanah, untuk memasok hara tanaman, dan untuk mengendalikan hama, gulma dan jasad merugikan lainnya (Yougberg & Dittel, 1984 dalam Rachman Sutanto, 1991).

Dari pengertian diatas maka ynag dimaksud pertanian organik bukan berarti bertani yang masih primitip maupun ketinggalan jaman (tradisional) dan anti teknologi masukan tinggi seperti pupuk buatan maupun pestisida buatan, melainkan merupakan cara bertani yang berusaha menyelaraskan hubungan antara manusia dan lingkungan sehingga kerusakan yang mungkin terjadi pada lingkungan pertanian akibat penggunaan teknologi masukan tinggi dapat ditekan atau bahkan ditiadakan. Dalam pengertian ini maka manusia harus menyadari secara mendalam bahwa dirinya merupakan bagian dari alam sehingga kerusakan yang terjadi pada alam pertanian dengan sendirinya akan merusak dan mengancam kehidupan manusia. Pandangan yang utuh dan integral semacam ini sebenarnya sudah ada dalam masyarakat tani pedesaan, hanya saja mereka seringkali belum dapat menjelaskan secara nalar sehingga sering dijumpai dalam bentuk mitos maupun yang berbentuk mistik.

Pengenalan dan penerapan pertanian organik di lahan kering.

Dilapangan seing kita jumpai benturan kepentingan antara pembuat program, petugas lapangan pertanian (PPL) dengan para petani. Pada umumnya benturan terjadi karena adanya kesenjangan dalm hal pendapat, cara berpikir, pengetahuan, teknologi yang dikuasai maupun status sosial dsb.

Sebagai contoh kasus pertama kesenjangan tersebut adalah pengenalan pupuk buatan pada petani didaerah pedesaan sering berjalan kurang mulus dan terjadi penolakan karena belum dikenalkan dengan pupuk tersebut dan belum tahu kegunaan maupun karena kurangnya informasi dari luar. Dalam kasus ini para pembuat program maupun PPL beranggapan bahwa kemajuan pertanian hanya dapat dicapai jika petani mau memakai pupuk buatan,. Dan sering terjadi penerapan penggunaan pupuk buatan oleh petani merupakan target kerja yang harus tercapai untuk meunjukkan prestasi kerja dan peningkatan karir. Sementara para petani yang kebanyakan berpendidikan rendah kurang cepat menerima penjelasan tentang cara-cara dan keuntungan penggunaan pupuk buatan. Maka jika program pemakaian pupuk buatan dipaksakan, mungkin akan terjadi pupuk buatan yang berharga hanya disimpan atau bahkan dibuang begitu saja.

Dari kasus diatas kita dapat belajar bahwa tidak semua program pertanian yang berupa paket teknologi dapat diaplikasi oleh semua petani. Sebagai pembuat program dan PPL maka harus secepatnya mencari jalan tengah penyelesaian masalah tersebut.

Penggunaan pupuk alam baik pupuk kandang atau kotoran ternak, pupuk hijau, legum maupun limbah organik yang dikomposkan dapat menjadi alternatip penyelesaian masalah ini.

Keuntungan dari penggunaan pupuk alam ini sangat besar antara lain :

Para petani sederhana dapat memanfaatkan potensi lokal yang ada disekitarnya baik berupa kotoran ternak, legum, humus, rumput-rumputan dari gulma dsb.
Mengurangi tingkat pencemaran dari limbah rumah tangga dan meningkatkan kesehatan lingkungan karena semua sampah dikomposkan.
Mampu menekan ongkos produksi (efisiensi) karena tidak perlu membeli pupuk buatan serta mengurangi ketergantungan dari pihak luar (pabrik pupuk, penyalur/KUD dsb).
Pupuk alam mempunyai kelebihan dalam hal menyimpan lengas tanah sehingga melindungi terhadap kekeringan, memperbaiki struktur tanah, meningkatkan unsur hara makro dan mikro, mengurangi erosi, mengatur pH, menambah kandungan mikroorganisme yang emmbantu proses biologis tanah dsb.
Para petani tertarik utnuk melaksanakan hutan-tani (Agroforestry) yakni suatu sistem produksi biologi yang dengan sengaja menggabungkan pohon dan ternak dengan pertanaman, ternak, atau faktor produksi pertanian lainnya seperti perkebunan, tanaman buah-buahan dsb. Pupuk hijau didapat dengan menanam tanaman legume yang sekaligus dapat berfungsi menahan erosi seperti kaliandra, gamal, turi, lamtoro dsb. Pupuk kandang didapatkan dari hasil kotoran ternak, sedangkan kompos didapat dari sisa pangkasan/cabutan gulma dengan kotoran segar.

Memang dalam pelaksanaan tidak begitu mudah, karena ada anggapan bahwa petani yang menerapkan pertanian organik adalah petani yang anti pupuk buatan, bahkan mungkin dapat pula dituding anti pembangunan. Ada pula yang berpendapat bahwa penggunaan pupuk alam sudah ketinggalan jaman, tidak modern dsb, padahal dibalik pernyataan tersebut mungkin timbul kekhawatiran pendapatan/ keuntungan ditingkat pengecer pupuk, KUD bahkan menyangkut kelangsungan hidup pabrik pembuat pupuk buatan.

Dan jika hal ini terjadi, maka seharusnya pihak petani yang harus dilindungi, dibela dan jangan disudutkan untuk dipaksa menggunakan pupuk buatan. Petani diberi kebebasan untuk mengelola lahan sesuai dengan prinsip yang dianutnya. Campur tangan yang terlalu banyak kedalam hidup petani jika tidak hati-hati akan sangat merugikan petani dan hal ini bertentangan dengan tujuan pembangunan pertanian yakni peningkatan taraf hidup petani dan keluarganya.

Contoh kasus yang kedua adalah pengenalan dan penggunaan pestisida buatan/ pabrik pada masyarakat tani yang masih sederhana akan dapat menimbulkan masalah jika kurang hati-hati dalam pelaksanaannya. Kita tidak dapat mengingkari bahwa pestisida buatan sangat membantu dan menimbulkan manfaat yang luas terhadap kehidupan manusia apabila dugunakan secara bijaksana. Penggunaan pestisida yang sembarangan dan tidak menuruti aturan akan berdampak negatip yang meluas, merugikan dalam jangka pendek maupun jangka panjang bagi kelangsungan hidup manusia. Harus disadari bahwa bagaimanapun hebat manfaat pestisida, kita tidak boleh lupa pestisida tetap mempunyai sifat meracun dan mempunyai daya bunuh yang tidak selektip, artinya selain selain membunuh organisme yang ditargetkan (misal wereng), namun juga akan membunuh organisme lainnya yang bukan sasaran (misal lebah madu), predator dll. Dampak negatip lainnya adalah kemungkinan terjadinya peledakan hama kembali., dan didapatkannya residu pestisida dalam berbagai komoditi pertanian dan berbagai kompoenn lingkungan (Nani Djuangsih, 1990).

Dalam menghadapi masalah ini, pembuat program dan PPL harus bijak untuk menilai apakah masyarakat tani binaannya sudah dapat dan mampu mengelola dan menggunakan pestisida pabrik dengan baik atau belum. Jika belum, maka dapat dicari jalan untuk mengatasi hama dn penyakit dengan pengendalian cara lain yang lebih aman tanpa harus memaksa petani menggunakan pestisida pabrik yang beresiko cukup tinggi. Program Pengendalian Hama terpadu (PHT) yang sedang digalakkan pemerintah secara jelas menyatakan bahwa pestisida pabruik merupakan alternatip terakhir apabila cara pengendalian lain sudah tidak mampu lagi. Pengendalian secara mekanis, fisis, budidaya, hayati, tanaman tahan sebaiknya dikenalkan lebih dulu kepada petani dan tidak menggunakan jalan pintas untuk langsung mengenalkan pestisida pabrik pada petani. Jadi usaha yang dilakukan pemerintah sekarang ini menuju ke pertanian lestari.

Dari kedua contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa :
Perlu adanya kehati-hatian dalam mengenalkan paket bantuan teknologi tinggi seperti pupuk buatan, pestisida pabrik dll pada petani sederhana di Nusa Tenggara.
Pertanian organik sangat relevan utnuk diterapkan dilahan kering Nusa Tenggara mengingat keuntungan yang diperoleh petani dan ketidaktergantungan petani pada pihak luar sehingga kenaikan harga saprotan tidak meresahkan petani kecil..
Pertanian organik untuk pengembangannya dapat diarahkan menuju Wana-tani (Agroforestry)
Keadaan geografis alam Nusa tenggara yang sebagian lahan kering berupa pegunungan serta kondisi perekonomian masyarakat tani yang cenderung masih subsisten merupakan kendala bagi penerapan teknologi tinggi dan sebaiknya komsep pembangunan pertanian lebih diarahkan “kembali ke alam” memanfaatkan potensi lokal yang tersedia serta lebih menjamin kearah pembangunan pertanian yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yakni konsep pertanian organik yang mengarah ke hutan tani. Konsep pertanian organik sudah lebih dikenal dan tidak asing lagi bagi masyarakat tani kecil.

Semoga kita menyadari bahwa alam hanyalah titipan dari anak cucu kita yang harus dijaga kelestariannya sehingga kita tidak mewariskan masalah yang besar karena kesalahan dan keserakahan yang kita perbuat.




YB.T Suryo Kusumo

Pupuk organik, tak kalah gengsi maupun manfaatnya !

Dialam peradaban modern, para petani maju erlomba-lomba tampil bedasupaya tidak kelihatan ketinggalan jaman, termasuk dalam memanfaatkan teknologi pertanian seperti pupuk buatan, pestisida buatan dll. Teknologi pertanian modern menjadi pilihan utama, termasuk keyakina yang kadang-kadang menjadi berlebihan akan manfaat pupuk buatan maupun pestisida kimiawi (pabrik). Akibatnya secara tidak disadari para petani maju semakin tinggi ketergantungannya pada pupuk buatan dengan dosis penggunaan yang semakin tinggi pula.

Penggunaan pupuk buatan secara nasional selama 25 tahun terakhir meningkat lebih dari 16 % per tahun dan sebagian besar pupuk tersebut diserap sektor pertanian tanaman pangan sebesar 72 % dan palawija 13 % (Kompas, 22 Mei 1991, dalam artikel ‘Pupuk organik kembali naik daun’).

Sementara subsidi harga pupuk dari pemerintah semakin dikurangi seiring dengan naiknya harga pupuk buatan dari tahun ke tahun, menjadikan perhatian pemerintah maupun para petani pemakai akan efisiensi penggunaan pupuk buatan sebagai prioritas dengan diperkenalkannya urea tablet.

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa kelebihan dalam penggunaan pupuk organik yaitu :
memperbaiki struktur tanah menjadi lebih genbur
menambah kandungan hara tamabahan (mikro)
makanan mikrobia yang dapat menyehatkan tanah
meningkatkan kemampuan tanah menjerap/mengikat lengas (air) tanah
meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk buatan (an organik)
mudah didapat, murah
lebih berwawasan lingkungan dan membantu mengurangi polusi dan meningkatkan sanitasi lingkungan

Keyakinan dalam penerapan
Keyakinan akan ‘nilai tambah’ pupuk organik telah lama dibuktikan oleh Yayasan “Bina Sarana Bhakti’ 1996 dibawah pimpinan Pastor Agatho yang mencoba merintis penerapan pertanian organik/lestari/alami. Demikian pula LSM-LSM di belahan timur yakni Timor Timur seperti Yayasan Wiraswasta Tani dengan Pusat Pelatihan Wiraswasta Tani (PUSLAWITA) maupun P3M Raimate (Pusat Pelayanan dan Pengembangan Masyarakat) Yayasan ETADEP ( Ema Mata Dalan Ba Progresso) telah mencoba untuk konsisten hanya memakai pupuk organik dan menekan atau jika memungkinkan tidak memakai sama sekali pupuk buatan.
Hal ini didasari pemikiran dan tujuan jangka panjang untuk memerdekakan petani dari ketergantungan industri pupuik buatan, menekan penggunaan BBM (Bahan Bakar Minyak) dalam pembuatan pupuk, pendistribusian dan yang lebih penting dengan penggunaan pupuk organik mampu menciptakan daur ulang pemanfaatn limbah baik berupa humus, kotoran ternak maupun manusia, serta mampu menggabungkan pertanian dan peternakan (pola wana tani/agroforestry). Dalam usaha peningkatan pendapatan petani dan pelestarian daya dukung lahan.

Jadi perlu dipahami dan dimengerti dengan hati bening dan pikiran jernih tanpa apriori bahwa penggunaan pupuk organik bukan berarti tidak mau mengikuti anjuran ‘pemerintah’, namun justru membantu pemerintah mengurangi pengeluaran devisa negara untuk subsidi pupuk buatan dan BBM dsb. Dan berdasar berbagai penelitian, pupuk organik mempunyai beberapa kelebihan dibanding pupuk buatan .
Pemakaian pupuk buatan terutama unsur hara Nitrogen (N) , Posphor (P), Kalium (K) mempunyai keterbatasan dalam tingkat efisiensi penyerapannya. Pupuk Nitrogen (N) tingkat efisiensi penyerapannya hanya 56 – 60 % karena sebagian terlindi (tercuci), terdenitrifikasi, dan menguaop,sehingga pemerintah menggalakkan pemakaian pupuk urea tablet untuk meningkatkan efisiensi penggunaannya. Efisiensi penyerapan pupuk Phospor (P) hanya sekitar 20 % dan sisanya dalam bentuk tidak tersedia, sedangkan pupuk Kalium (K) berkisar antara 50 – 75 % dan suisanya hilang karena pelindian aliran permukaan (run off) serta tersemat pada kisi lempung . Ternyata penggunaan pupuk organik dapat meningkatkan efisiensi penggunaan ketiga pupuk tersebut yang merupakan unsur utama yang dibutuhkan tanaman. Dan berdasar penelitian, dari ketiga jenis pupuk organik yakn I pupuk kandang, jerami, pupuk hijau, ternyata pupuk hijau memberikan hasil yang lebih baik dalam meningkatkan efisiensi penyerapan Phospor (P).

Penyadaran
Dalam menggalakkan kembali penggunaan pupuk organik memang tidak gampang, terutama bagi petani yang sudah terbiasa dengan pupuk buatan yang memang lebih mudah mendapatkan, lebih sedikit pemakaiannya, praktis, tidak kotor serta kelihatan lebih bergengsi. Karena sering ada image/citra bahwa memakai pupuk organik seolah identik dengan cap ‘tradisional, kolot’ dan kurang bergengsi. Padahal jika kita kaji lebih mendalam, penggunaan pupuk organik justru lebih bergengsi karena terutama kita ikut bertanggung jawab dalam gerakan pelestarian lingkungan sehingga daya dukung lahan tetap tinggi, berpartisipasi dalam mengurangi polusi karena semua limbah yang dapat terombak dikembalikan ke lahan sebagai pupuk serta membantu pemerintah menghemat pengeluaran devisa atas subsidi pupuk buatan, BBM untuk pembuatan dan distribusi dll.
Maka menjadi tugas kita bersama untuk melakukan penyadaran dalam gerakan ‘kembali ke alam’ dan lebih berwawasan lingkungan sehingga bumi benar-benar menjadi andalan mendukung kehidupan manusia,khususnya dalam penyediaan bahan pangan dan pasokan bahan mentah untuk berbagai jenis industri. Berbagai gerakan kampanye penyadaran akan pentingnya ‘pemanfaatan kembali’ pupuk organik perlu diupayakan sehingga kita tidak terjebak dalam pendewaan teknologi melainkan memanfaatkanteknologi untuk kepentingan manusia dan bukan sebaliknya. Semua pemakaian pupuk organik baik berupa kompos, pupuk kotoran hewan, pupuk hijau maupun humus semakin memasyarakat dan tak kalah gengsi maupun manfaatnya dibanding pupuk buatan.

Bulan Agustus (bulan pemerdekaan
Petani dari ketergantungan)

YBT Suryo KusumoPendamping petani lemah & kecil di Timor Timur

Pertanian lestari, pilihan bijak petani berwawasan jauh kedepan

Mengamati perkembangan pertanian di Indonesia khususnya masalah pencapaian swasembada pangan dan usaha untuk mempertahankannya, maka pemikiran kita sebagai petani kebanyakan langsung tertuju pada pertanian intensip yang mau tak mau harus menyediakan pupuk buatan dan pestisida pabrik dalam berbagai formula.dan merek dagang yang begitu beragam. Seolah-olah pikiran kita sebagai petani sudah terpaku dan tidak ada pilihan lainnya.
Benarkah pemikiran demikian yang selalu terjadi pada petani maju di masyarakat kita ?

Jika memang demikian, kita harus mencari akar penyebab semua itu. Kita tengok awal pengenalan pada petani maju dengan teknologi masukan tinggi dan energi tinggi. Program yang dicanangkan pemerintah dengan model penyuluhan “dipaksa-terpaksa-biasa” dalam mengenalkan pupuk buatan dan pestisida pabrik seakan-akan membuat pikiran petani mau tak mau secara teknis harus mengikuti petunjuk yang sudah diberikan. Sering secara tidak disadari tergambar dalam pikiran petani jika tidak menggunakan pupuk buatan dan pestisida pabrik akan mengalami penurunan hasil atau bahkan mengalami kegagalan. Petani terus menerus dipacu dan berlomba meningkatkan produksi secara maksimal dengan berbagai upaya yang ditempuh dan sering menyimpang dari ketentuan teknis penggunaan pupuk buatan maupun pestisida pabrik. Para petani kurang menyadari dampak negatip yang timbul akibat pengurasan lahan dan adanya keterbatasan daya dukung lahan. Program peningkatan produksi yang bermula dari SSB,SSBM, DENMAS, BIMAS dan berlanjut dengan INMAS-INSUS-SUPRA INSUS seolah-olah memberi dukungan dan pembenaran pendapat para petani bahwa lahan dapat dikuras sampai seberapapun kemauan kita untuk menghasilkan swasembada pangan. Namun akhirnya disadari pemikiran dan perilaku semacam ini memberikan dampak negatip seperti terlihat adanya peledakan hama penyakit dan semakin menurunnya kegemburan tanah yang berakibat semakin sulit diolah, kekahatan unsur hara tertentu terutama unsur hara mikro dsb.

Dan yang lebih menyedihkan adanya berbagai korban anggota masyarakat akibat penyalahgunaan pestisida pabrik terus berjatuhan dari hari ke hari. Keracunan pestisida menjadi berita yang dianggap lumrah terjadi dan bahkan kematian bunuh diri memakai pestisida semakin menggejala di masyarakat tanpa mengusik hati nurani kita yang terdalam. Akibat pencemaran pestisida buatan karena kekurang hati-hatian , ketidak tahuan maupun kenekatan untuk mendapatkan untung sebesar-besarnya perlu menjadi keprihatinan dan harus selalu diwaspadai oleh seluruh masyarakat.

Melarang petani menggunakan pestisida pabrik dan pupuk buatan bukanlah pekerjaaan yang mudah dan bijaksana. Pelarangan tidak akan menyelesaikan masalah karena kita menyadari masyarakat petani sudah terbiasa dengn hal tersebut dan sulit disadarkan akan dampak negatip yang ditimbulkan.




Penerapan pertanian lestari

Bagaimana mengatasi permasalahan diatas yang merupakan lingkaran setan ?
Pertama-tama jika kita ingin keluar dari lingkaran setan harus terlebih dahulu kita cari setannya. Sering kita mencari setannya diluar diri kita, padahal kalau kita mau jujur setan itu sering ada dalam pola pikir, pola hidup dan cara bertindak diri kita sendiri.
Semua permasalahan diatas jika kita telusuri bermuara pada gaya hidup kita yang cenderung bergaya modern, boros, kurang berpikir jangka panjang , sikap hedonisme, pemujaan teknologi tinggi yang berlebihan tanpa berpikir bahwa hidup yang layak perlu berdamai dengan alam, menjadikan alam sebagai sahabat dan bukan mengeksploatasi untuk memuaskan ego kita.

Namun bukan berarti kita terjebak kedalam romantisme alami/ natural yang cenderung memuja alam secara berlebihan dan takut mengusiknya.

Pertanian lestari atau yang biasa disebut pertanian organik alami merupakan salah satu pilihan bijak dalam menyiasati pemenuhan kebutuhan pangan yang mendasarkan pada keselarasan alam . Pertanian lestari sering diartikan tanpa menggunakan pupuk buatan dan pestisida buatan. Namun pengertian diatas belum cukup untuk mmenyimpulkan sebagai bentuk pertanian lestari.

Permasalahan yang mendasar dari penerapan pertanian lestari adalah bagaimana kita memandang alam ciptaan Tuhan sebagai karunia yang harus dijaga, kita rawat dan kita gunakan, sebagai sarana untuk memudahkan kita dekat dengan Pencipta dan kembali memuliakanNYA. Maka dalam penerapan, lahan bukan semata-mata dipandang sebagai tempat berproduksi dan harus dimanfaatkan serta dikuras sehabis-habisnya melainkan sebagai karunia tempat dimana kita dan generasi berikutnya menggantungkan hidup dan kehidupannya dari kemurahan alam tanpa menimbulkan kerusakan. Dalam bahasa populer biasa dikatakan sebagai pertanian yang mengambil hasil namun lahan tetap tidak kehilangan kesuburannya dan unsur-unsur alam lainnya tetap dalam kondisi ideal untuk mendukung kehidupan manusia. Jadi seolah-olah kita sebagai manusia mengambil hasil dari lahan tanpa menguranginya, meminta tanpa memberi kembali, atau lahan digambarkan seperti susu ibu yang tak habis-habisnya diteteki bayi demi kelangsungan kehidupan generasi selanjutnya. Lahan dipersonifikasikan sebagai payudara ibu yang selalu siap memberi air kehidupan bagi si bayi yang lemah dan bayi tersebut merupakan simbol diri kita yang sebenarnya lemah dan sangat tergantung pada alam sekelilingnya.

Dalam pemahaman seperti ini, kita dihadapkan pada pemikiran bagaimana memanfaatkan alam tanpa merusaknya. Atau dengan kata lain campur tangan manusia kedalam pemanfaatan alam tidak boleh menciptakan degradasi daya dukung alam, namun kebutuhan manusia untuk “hidup layak” terpenuhi.





Tugas kita menurut Notohadiprawiro (1989) adalah:

v Memacu kemampuan alamiah sistim tanah-tanaman-atmosfer dalam mengkonversikan unsur-unsur lingkungan menjadi sesuatu yang berguna bagi manusia.
v Melakukan adaptasi tanaman dan ternak pada lingkungan hidup setempat lewat seleksi pemuliaan konvesional atau melalui rekayasa genetik.
v Membangun kelembagaan yang mendukung rasionalisasi usaha tani, pemberian nilai tambah pada hasil pertanian, dan pelancaran pemasaran hasil usaha tani.

Semua tindakan itu dimaksudkan untuk :
Membatasi ketergasntungan pertanian pada masukan komersial seperti pestisida pabrik, pupuk buatan, subsidi dan kredit.
Membatasi usikan kegiatan atas lingkungan berarti mengurangi dmpak negatip atas lingkungan
Mnegokohkan usaha tani sebgaai pemasok ekonomi nasional.
(Dalam Rachman Sutanto, Makalah Pengembangan Budidaya Pertanian Umumnya Pembangunan Pertanian Yang Berkelanjutan, 1991).

Keberhasilan dan dampak pertanian lestari dapat terlihat jika tingkat kesadaran masyarakat tani terhadap lingkungan semakin bertambah. Untuk itu diperlukan penyadaran terus menerus , kerja keras, berbagi pengalaman, menjalin kemitraan dengan pihak yang peduli pada lingkungan, demi generasi berikutnya dan bukan hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan perut kita sekarang saja.

Maka pengembangan pertania lestari dapat dimulai dari lingkungan terkecil yakni melalui keluarga batih, pendidikan dasar sampai ke jenjang yang lebih tinggi, lembaga keagamaan, HKTI, LPSM-LSM, dan terutama keprihatinan dan kemauan politik pemerintah yang tertuang dalam bentuk kebiujakan (policy) yang dikeluarkan.
Dan yang lebih penting adalah kemauan politik dan niat baik pemerintah yang memberi kebebasan penuh bagi petani untuk mengelola pertaniannya dengan pilihan yang semakin beragam tanpa dibebani swasembada pangan dan tanpa ditakut-takuti dengan berbagai cara oleh oknum-oknum tertentu yang sering hanya mengejar target. Dengan kebebasan yang diberikan memungkinkan petani terlepas dari ketergantungan masukan komersial seperti benih hibrida, pupuk pabrik yang jika dikaji dengan hati bening dan jujur lebih menguntungkan kalangan produsen dan pemasar produk tersebut serta melemahkan posisi tawar menawar petani. Jika pertanian lestari dapat dilaksanakan sebagai sebuah gerakan masyarakat luas maka subsidi pemerintah bagi saprotan dapat dikurangi, BBM yang dibutuhkan dalam proses pembuatan, pengangkutan, dan pebndistribusian saprotan dapat digunakan untuk kepentingan lain. Disamping itu pencemaran serta bahaya keracunan bahan-bahan kimia beracun dari pestisida pabrik/buatan dapat ditekan serendah-rendahnya. Nilai tukar hasil pertanian yang rendah juga harus dicarikan jalan keluarnya sehingga petani menikmati hasil jerih payahnya secara adil.

Dalam penerapan pertanian lestari dibutuhkan kemauan dan kekuatan moral yang tinggi untuk melihat permasalahan lingkungan sebagai masalah transendental yang harus ddipertanggungjawabkan kepada Tuhan . Maka marilah kita berkarya dengan mendasarkan pada keberlanjutan geberasi mendatang dan mendasarkan pada nilai etis yang dapat dipertanggungjawabkan.

Senin, 09 Juni 2008

Membangun impian sebuah desa ideal imajiner

Ketika gaung reformasi membawa angin segar terhadap wacana otonomi daerah dan mengimplementasikannya sejak awal tahun 2000, maka yang terutama harus dilakukan bersama adalah penyamaan persepsi tentang tujuan dan kegunaan dari adanya kebijakan pelaksanaan otonomi daerah. Ketika kita mempertanyakan mulai darimana otonomi dilaksanakan, maka yang utama adalah penerapan otonomi desa. Desa yang selama ini dijadikan sapi perahan dan ‘budak’ terbawah dalam sebuah sistem pemerintahan ORBA yang otoriter harus diubah pemahamannya menjadi sebuah wilayah otonom yang mampu mengelola dan mengambil keputusan sendiri dalam melaksanakan pengembangan desanya, meskipun masih terkait dengan kecamatan sebagai wilayah regional yang paling dekat. Desa harus dipandang sebagai satuan terkecil dari NKRI yang mana akan memberi sumbangan dan warna dalam pembangunan keseluruhan bangsa Indonesia.

Penyediaan prasarana dan sarana dasar

Dalam program pengembangan masyarakat pedesaan , untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak maka dibutuhkanprasarana dan sarana dasar yang utama harus ada dalam sebuah desa antara lain :
Sarana perumahan yang sehat, indah, harmonis
Sarana kesehatan (ketersediaan air bersih, saluran pembuangan, MCK, polindes,posyandu dll)
Sarana pendidikan
Sarana ibadah
Sarana pasar (koperasi serba usaha)
Sarana trasportasi (jalan beraspal/ bersemen, alat angkut darat, dermaga & kapal laut)
Sarana komunikasi
Sarana olah raga
Sarana hiburan ( meningkatkan budaya lokal)
Sarana produksi
Sarana penerangan dan ketersediaan listrik
Lembaga keuangan tingkat desa (Koperasi kredit)
Lembaga perwakilan tingkat desa (BPD)
Sarana pengembangan kapasitas intelektual (pusat informasi desa, kepustakaan desa dll)
Litbang desa

P3 DT, PPK, Proyek Air bersih Ausaid dll selama ini telah membantu dalam menyiapkan sarana dasar yang memadai untuk kehidupan di pedesaan. Namun hal ini belum terasa dapat memenuhi kebutuhan karena terbatasnya dana yang tersedia, tiadanya perencanaan umum tata ruang tingkat desa sehingga menyulitkan pihak luar yang akan membantu dalam penyiapan prasarana dan sarana dasar desa.


Rencana strategis desa dan rencana umum tata ruang tingkat desa

Dalam pengembangan sebuah desa, perlu dipikirkan untuk sejak awalmelakukan renstra desa dan merencanakan tata ruang tingkat desa yang mengatur peruntukan lahan yang diarahkan untuk pemukiman, sarana umum dan sosial, kawasan pertanian, kawasan peternakan, kawasan hutan, kawasan industri kecil dll yang dillakukan secara partisipatip dengan melibatkan seluruh warga desa serta konsultan pengembangan desa. Dalam perencanaan ini jika ada monopoli kepemilikan tanah oleh tuan tanah maupun adat, maka perlu dipikirkan adanya usaha land reform yang menjamin rasa keadilan dan mendukung perdamaian.

Penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil.

Dalam rangka menjamin terselenggaranya kehidupan publik yang lebih demokratis, maka perlu dibangun masyarakat yang mempunyai kesadaran kritis, terbuka (inklusip), berbudaya, jujur, maka untuk mewujudkannya perlu diupayakan proses penyadaran melalui pendidikan kritis dan latihan menganalisis tentang realitas kehidupan sosial politik baik pada tingkat makro (nasional) maupun mikro (tingkat kabupaten). Pendidikan kritis untuk rakyat menjadi kebutuhan yang mendesak apabila kita ingin menjadikan warga desa cerdas dan kritis, karena pengalaman selama ini masyarakat desa hanya dijadikan obyek dalam suatu penyelenggaraan pemilu dan kemudian dilupakan.

Untuk penguatan dan pemberdayaan masyarakat sipil di desa , perlu dilakukan :

Pendidikan kritis rakyat
Penguatan ORA (Organisasi Rakyat)
Pengaliran dan penyediaan informasi secara terus menerus yang mudah dicerna rakyat
Membangun sistem kontrol rakyat terhadap penyelenggara negara (khususnya aparat desa)
Peningkatan kemampuan ekonomi melalui kegiatan usaha produktip


Pemerintahan desa yang bersih & transparan

Kegagalan akan keberlajutan (sustainable) sebuah pembangunan pedesaan melalui pendekatan top down dan proyek, seharusnya menjadi cermin bagi diri kita, bahwa tanpa partisipasi dan kesadaran masyarakat untuk membangun diri dan memelihara hasil-hasil pembangunannya, maka keberlanjutan pembangunan sulit diharapkan. Meskipun kita meminta masyarakat untuk mengadakan perencanaan partisipatip lewat musbangdes (musyawarah pembangunan desa) dengan menggunakan metode P3MD (Perencanaan Pembangunan Partisipatip Masyarakat Desa) , namun ketika usulan masyarakat desa yang partisipatip ini kehilangan kesempatan bagi masyarakat sendiri untuk memutuskan apa yang hendak dibangun karena yang berhak memutuskan/mencoret adalah Bappeda maupun Bappenas, akan terlihat bahwa semua hal yang dilakukan pemerintah seolah-olah menjadi tidak berkelanjutan. Pembangunan didesa yang dilaksanakan dalam bentuk proyek, ternyata telah menjauhkan masyarakat dari rasa memiliki pembangunan untuk dirinya dan menjadi ajang pesta pora KKN bagi pinpro maupun pihak yang terkait dalam proyek tersebut. Maka akan menjadi sangat kentara dan wajar apabila para kontraktor dan pinpro menjadi ‘sapi perahan’ bagi yang punya kuasa baik di eksekutip, legislatip (DPR) maupun yudikatip. Dan ketika kualitas /mutu proyek semakin jelek, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi semakin berkurang dan masyarakat menjadi apatis, meskipun sebenarnya masyarakat juga menikmati melalui dana yang disediakan untuk mereka (dana IDT dll). Manajemen pembangunan yang berwajah sektoral, sentralistik, topdown, dengan pendekatan proyek ternyata telah menjauhkan masyarakat dari kemandirian dan keswadayaan dan membuat masyarakat semakin bergantung. Desa masih sering dianggap sebagai obyek lahan untuk melaksanakan proyek dan belum dianggap sebagai suatu wilayah otonom yang mempunyai otoritas untuk menentukan sendiri apa yang mau dibangun dari apa yang dimiliki, dan bantuan yang disediakan hanya sebagai stimulan yang mempercepat proses pengembangan masyarakat. Pihak luar seperti pemerintah, LSM, Akademisi dll seharusnya hanya menjadi fasilitator, motivator dan konsultan bagi masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan program. Desa hanya menjadi semacam ‘tempat sampah pembangunan’, dimana semua sektor dengan gaya egosektoral masing-masing telah bertindak menjadi semacam sinterklas yang membagi-bagi hadiah kepada masyarakat. Dan ketika proyek dipaksakan di desa karena dikejar target dan waktu, masyarakat dengan aparat desa menjadi pelengkap penderita dari sebuah pembangunan.

Mengembangkan otonomi desa

Dijaman ORBA, desa mengalami marjinalisasi yang dibuktikan dengan pengendalian desa melalui Kepala Desa yang secara ex officio menjadi Ketua Umum LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), Ketua I dijabat oleh tokoh masyarakat, dan Ketua II oleh Ketua Tim Penggerak PKK yang tidak lain adalah istri Kepala Desa dan keberadaan wewenangnya dibawah Camat. Hal ini tertuang dari pengertian desa menurut UUPD No 5/1979, dikatakan, bahwa : “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1.a.). Dari rumusan ini terlihat pemahaman desa merupakan representasi pemerintah pusat, artinya kewenangan memutuskan ada ditangan pemerintah pusat dan apa yang dianggap baik oleh pusat akan dirasa baik pula untuk desa. Asumsi ini sangat kental dengan nuansa sentralistik dan mengkebiri peran desa sebagai wilayah yang otonom dan cenderung mengabaikan kebutuhan dan kepentingan rakyat yang sesungguhnya.

Di era reformasi, keinginan melaksanakan desentralisasi menjadi sangat kuat sebagai keputusan politik serta mengubah pendekatan top down dengan bottom up. Dalam UU No. 22 th 1999, pasal 1(o) disebutkan bahwa pengertian desa atau apa yang disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asa usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten. Pada (p) disebutkan bahwa kawasan pedesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman pedesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Pencabutan UUPD No. 5/1979 dan digantikan dengan UU No. 22 tahun 1999 merupakan wujud keseriusan pemerintah transisi untuk mengakhiri dari pembangunan desa yang berwajah sentralistik, penyeragaman, ketakberdayaan (depowering), alat mobilisasi dan mengedepankan kekuasaan menuju pembangunan desa yang terdesentralisasi, memberikan ruang untuk keanekaragaman budaya, pemberdayaan (empowering) , partisipatip dan mengedepankan kesejahteraan rakyat. Penempatan desa secara otonom akan memberi peluang bagi desa untuk tumbuh secara wajar, menampung aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Kedaulatan rakyat menjadi realitas, dan rakyat semakin ditumbuhkan dalam daya nalar, daya analitis sehingga menjadi cerdas dan kritis. Rakyat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengemukakan dan memutuskan apa yang akan dibangun, swadaya apa saja yang dapat disiapkan , teknologi apa yang akan dipilih dll. Desa bukan lagi menjadi daerah kekuasaan para pejabat /birokrat, tetapi sebaliknya para pejabat diharapkan menjadi fasilitator, konsultan, mediator, motivator, dan bukannya justru menjadi koruptor, sehingga mampu mempercepat kesejahteraan warga desa. Hal ini sesuai dengan semboyan pegawai negeri yang mengklaim dirinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat sehingga tidak berhenti sebagai retorika belaka, melainkan diwujudkan dalam pengabdian melaksanakan tugasnya. Maka sudah bukan jamannya lagi jika masih ditemui pejabat yang arogan dan hanya mau dilayani, karena saat ini lebih dibutuhkan pejabat yang mau melayani dan rendah hati yang mampu melihat warga desa bukan sebagai abdi/bawahan yang lebih rendah derajad sosialnya, melainkan memandang masyarakat sebagai mitra sejajar yang membutuhkan uluran tangan dan pemikirannya untuk dapat hidup lebih bermartabat dan manusiawi, sejahtera lahir dan batin. Para pejabat, Pemuka agama, Pemuka Masyarakat, Pemuka Adat, LSM, Pengusaha dll serta semua pihak yang berkehendak baik untuk masyarakat perlu membantu dengan segala daya upaya agar warga desa menjadi semakin berdaya, kritis, cerdas dan semakin mampu menolong diri dan sesama di desanya. Yang diperlukan saat ini adalah kebersamaan kita dengan warga desa untuk membantu menfasilitasi pembuatan master plan desa, mengatur tata ruang desa, tata guna/ peruntukan lahan, peningkatan ketrampilan teknis dan kemampuan berbisnis bagi warga desa, penyiapan sarana yang dibutuhkan untuk pengembangan ekonomi kerakyatan (seperti jalan beraspal/bersemen, alat traspor, sarana telepon, listrik, dermaga dll) sehingga semua potensi desa baik SDM maupun SDA dapat dioptimalkan pengelolaannya sehingga pada akhirnya juga memberi sumbangan yang berarti bagi PAD (Pendapatan Asli Desa) tanpa merusak lingkungan dan tetap menjaga keberlanjutan daya dukungnya bagi anak cucu. Dengan meningkatnya pendapatan asli desa, maka dengan sendirinya akan memperkuat otonomi daerah karena akan meningkatkan PAD kabupaten melalui peningkatan produktivitas yang tinggi dan peningkatan perputaran ekonomi di tingkat desa. Maka OTDA tidak diartikan peningkatan penarikan pajak kepada warga, namun dipahami sebagai mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki daerah dengan bekerja secara professional yang mendasarkan pada prinsip efisiensi dan efektivitas. Maka APBD tingkat kabupaten juga harus menampakkan tampilan kinerja yang efisien dan tidak menghabiskan anggaran hanya untuk menutup biaya rutin seperti gaji pegawai, pembelian fasilitas kantor, SPJ pejabat dsb, tetapi juga menuntut pegawai negeri untuk lebih profesional dalam melayani kepentingan publik yang telah menyediakan dana untuk pembayaran gajinya.

Mari kita kembangkan otonomi desa untuk memperkuat OTDA dan tidak perlu meremehkan keberadaan desa, karena sebenarnya kehidupan kota sangat bergantung pada pasokan bahan baku dari desa, baik dalam penyediaan bahan pangan maupun kebutuhan lainnya.


Dengan demikian harus ada prioritas bagi Pemerintahan desa sebagai aparat negara yang paling dekat dengan rakyat di desa untuk diberdayakan terlebih dahulu, karena seperti kita ketahui masyarakat masih bersifat paternalistik dan sangat bergantung pada tokoh adat, dan tokoh agama . Pengelola pemerintahan desa harus memegang prinsip partisipatip, bottom up dan menfasilitasi aspirasi masyarakat, dan bukan menjadi bawahan Camat maupun Bupati. Pemerintahan desa harus memikirkan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan, menjamin rasa aman, mewujudkan keadilan dan perdamaian bagi warganya. Pemerintahan desa juga harus transparan dalam hal kebijakan yang diambil, penggunaan keuangan dan mampu mempertanggungjawabkannya kepada warga sebagai wujud tanggungjawabnya kepada publik yang dilayaninya. Dengan demikian setiap kebijakan yang diambil harus merupakan representasi dari aspirasi masyarakat dan harus selalu memihak pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan pejabat maupun kalangan bisnis dari luar. Badan perwakilan Desa (BPD) harus mampu mengontrol penyelenggaraan pemerintahan di desa, namun tidak boleh menjadi arogan dalam artian BPD juga harus dikontrol oleh masyarakat desa yang memilihnya. Dan harus ada perubahan sistem dalam manajemen pemeritahan negara Indonesia, dimana desa diberi wewenang untuk memutuskan apa saja yang akan dilakukan dalam satu tahun, sehingga bukan lagi Bappeda yang memutuskan, namun tetap dalam keterkaitan dengan wilayah lain dan peran Bappeda dibutuhkan dalam membantu keterkaitan dalam tataran makro.


Pengembangan ekonomi kerakyatan

Perekonomian merupakan denyut nadi yang utama dalam pengembangan pedesaan. Peningkatan taraf hidup masyarakat desa sangat bergantung pada tingkat pendapatan yang mempengaruhi dalam kemampuan mencukupi kebutuhan sehari-hari dan tabungan untuk modal usaha. Masalah utama yang dilihat dalam pedesaan sebenarnya bukan masalah modal berupa uang untuk modal usaha, namun yang lebih utama adalah ketiadaan ketrampilan berbisnis/berusaha. Kita sering mendengar keluhan masyarakat yang selalu mengeluh ketiadaan uang sebagai modal dalam berusaha, namun kalau kita mau mengkaji lebih jauh, banyak faktor yang mempengaruhi lambatnya peningkatan pendapatan masyarakat, meskipun berbagai upaya untuk mengentaskan mereka dari kemiskinan oleh pemerintah telah sangat gencar dilakukan, mulai dari IDT, P3DT, PPK, maupun dari pihak lain seperti dari LSM, bantuan luar negeri dll. Menjadi pertanyaan kita, kemana uang bantuan yang selama ini mereka terima ?
Dari perspektip makro, maka kegagalan masyarakat desa mengentaskan diri dari kemiskinan antara lain disebabkan :

Kebijakan pembangunan yang selalu terpusat (sentralistik) di ibukota baik ibukota negara, propinsi, kabupaten maupun kecamatan, sehingga prasarana dan sarana dasar hanya terbangun diseputar ibukota tersebut.

Kebijakan ekonomi nasional selama ini lebih memihak kaum kapitalis /konglomerat, sehingga desa hanya dijadikan obyek dan diperas SDA nya untuk kepentingan kaum kapitalis. Kebijakan ekonomi yang diambil tidak berdasar ekonomi kerakyatan seperti yang diharapkan oleh pendiri bangsa dalam pasal 33 UUD 45.

Dalam UUPD No 5/1979, dikatakan, bahwa : “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1.a.). yang mengartikan desa sebagai bawahan Camat sehingga tidak menjadikan desa sebagai daerah yang otonom. Masyarakat beserta Kepala Desa tidak mampu menolak semua kepentingan dari luar meski tidak sesuai dengan kehendak/aspirasi masyarakat desa. Maka desa hanya dijadikan obyek pembangunan dan ‘tempat sampah pembuangan semua jenis proyek’

Dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi, desa tidak mempunyai akses ke jaringan pasar karena tiadanya sarana komunikasi untuk mendapat informasi harga maupun kebutuhan pasar dan rendahnya posisi tawar dalam berbisnis serta tiadanya jaringan pemasaran bersama , sehingga banyak kegiatan usaha produktip menjadi sia-sia karena produknya tidak mampu mengakses ke pasar. Kalaupun desa dijadikan tempat industri melalui program PIR, sebenarnya keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pengusaha daripada rakyat di desa tersebut. Ketika ada usaha pengelolaan SDA yang ada di desa, maka keuntungan akan ke pemerintah pusat dan daerah serta pengusaha, sementara yang masuk sebagai pendapatan desa sangat kecil prosentasenya.

Dalam perspektip mikro, maka kegagalan masyarakat desa mengentaskan diri dari kemiskinan antara lain disebabkan :

Rendahnya kemampuan manajemen wirausaha yang dimiliki rakyat desa karena ketiadaan pelatihan dan dukungan dari pihak terkait.

Adanya kebiasaan hidup boros karena adat-istiadat setempat, sehingga banyak uang yang tidak dapat disisihkan untuk modal/investasi.


Rendahnya ketrampilan teknis yang dimiliki masayarakat desa terkait dengan usaha yang dipilih dan dijalankan sehingga tidak efisien dan berakibat pada rendahnya produktivitas kerja.

Terbatasnya kapasitas intelektual karena kebiasaan budaya lisan dan kurangnya budaya baca, diskusi maupun keinginan menambah informasi dari berbagai mass media (radio, TV, surat kabar, majalah, poster, leaflet , internet dll).


Adanya budaya paternalistik dan tuan tanah yang menguasai sebagian besar asset di desa sehingga menimbulkan ketimpangan pendapatan dan ketidakadilan.

Pengembangan institusi keuangan di tingkat desa yang mampu dikelola oleh warga desa seperti Koperasi kredit sangat diperlukan sehingga terdapat institusi keuangan pengganti bank yang mengakibatkan terjadinya perputaran uang ditingkat desa, dan dalam penyediaan kebutuhan sehari-hari di desa diharapkan juga tersedia ‘mall’ ala desa alias warung serba ada yang menjual barang dengan harga wajar dan adil. Maka penguatan organisasi/ badan ekonomi desa seperti koperasi menjadi sangat startegis karena keuntungan akan dinikmati oleh warga desa sebagai anggota koperasi dan menumbuhkan solidaritas sejati diantara warga.

Pengembangan industrialisasi pedesaaan

Dalam pengembangan lebih lanjut, perlu dipikirkan untuk membangun sebuah industri skala kecil yang mampu mengolah hasil pertanian, peternakan maupun perkebunan dan kehutanan sehingga tidak terjadi pembuangan hasil yang melimpah karena tidak mampu dipasarkan, dan terjadi proses daur ulang yang terus menerus sehingga limbah mampu terolah dan termanfaatkan. Disamping itu industri yang dibangun juga harus mempertimbangkan penggunaan teknologi tepat guna yang mampu dikuasai masyarakat setempat, tidak padat modal dan juga dapat memenuhi kebuthan sehari-hari seperti minyak kelapa, sabun, margarin/keju, tepung untuk makanan kecil dll. Industri kerajinan kayu/rotan untuk meubel, cindera mata dll, industri penyamakan kulit hewan, industri kerajinan makanan olahan dsb dapat menjadi pilihan dalam pengembangan industri di desa sehingga mampu meningkatkan nilai tambah yang dengan sendirinya juga akan meningkatkan pendapatan. Produk asinan, manisan, tepung, keripik , dodol dsb dapat menjadi andalan apabila diproses dan dikemas secara baik dan higienis.


Kehidupan yang selaras alam

Pengelolaan SDA berbasis masyarakat harus terwujud dalam realitas, bukan hanya sekedar retorika saja. Hal ini akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang besar dari masyarakat sekitar SDA karena mereka akan menyadari pentingnya pengelolaan SDA yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang secara langsung menyangkut hajat hidup masyarakat dilokasi SDA berada. Dengan pengelolaan SDA oleh rakyat, maka mereka akan langsung merasakan manfaatnya bagi peningkatan taraf kehidupannya dan diharapkan akan mengelolanya dengan penuh tanggung jawab. Disamping itu dengan pengelolan berada di tangan rakyat, maka akan ada pemberdayaan ditingkat masyarakat, karena mereka akan memperoleh pelatihan teknis maupun manajemen dari dinas kemakmuran rakyat (dinas perkebunan, kehutanan, pertambangan, peternakan dll) sehingga secara kualitas kemampuan masyarakat bertambah.
Pengembangan pertanian juga akan mengikuti prinsip keselarasan dengan alam sehingga tidak dijumpai penggunaan pupuk kimia dan pestisida pabrik yang dapat meningkatkan pencemaran lingkungan dan membuat ketergantungan petani. Benih yang digunakannyapun benih lokal unggul sehingga mereka dapat menyiapkan secara mandiri setiap tahun tanpa harus membeli. Mereka tidak melaksanakan penananam tunggal (monocroping) melainkan multicroping yang saling memnguntungkan baik secara ekonomis, ekologis , produksi dan budaya. Mereka menambah kesuburan tahan dengan pupuk organis dari kotoran hewan/ternak, daun-daun legume, kompos dll.
Pengembangan peternakan juga memperhatikan daya dukung lahan dan tidak dibiarkan lepas sehingga tidak merusak kebun beserta tanamannya.

Demokratis yang santun
Masyarakat sudah semakin berani menyuarakan aspirasinya, menuntut haknya sekaligus secara bersamaan melaksanakan kewajibannya secara bertanggungjawab. Mereka akan semakin kritis terhadap penyimpangan yang terjadi dan dengan adanya sistem kontrol yang ada ditangan rakyat, maka siapa saja yang melanggar hukum akan dikenai hukuman yang setimpal dan adil. Mereka tidak lagi menjadi masyarakat yang paternalistik dan hanya mengangguk saja, melainkan berani menyuarakan pendapat yang berbeda sepanjang pendapat itu lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan secara nalar dan nurani. Perbedaan pendapat yang ada tidak menyebabkan perkelahian secara fisik, namun justru lebih mengedepankan pikiran yang nalar, tidak emosional, namun mencari solusi yang terbaik. Penilaian kinerja aparat desa dilakukan secara transparan, menggunakan indikator yang terukur (SMART) yang disepakati bersama antara aparat dan warganya, sehingga tidak lagi terjebak dalam sentimen keagamaan sempit, kesukuan, ras maupun rasa suka tidak suka. Aparat desa mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada warga dan warga berhak menilai berdasar indikator yang ada. Demikian pula dalam rekruitmen aparat desa , tidak ada lagi kolusi, suap maupun bentuk penyelewengan lainnya, karena proses rekruitmen aparat desa sangat transparan dengan kriteria yang jelas dan beberapa warga yang mewakilinya menjadi pengujinya. Peserta yang tidak lulus boleh bertanya apa penyebab dirinya tidak lulus dan foto kopi hasil tes dikembalikan kepada peserta.

Persaudaran sejati

Di desa imajiner ini sudah tidak ada lagi kata pendatang dan asli, nonpri dan pribumi, tidak lagi membedakan muslim atau non muslim, tidak ada lagi kerusuhan berbau SARA, karena kehidupan didasarkan kepada keimanan yang benar, jernih dan rasional dengan tingkat religiositas yang tinggi yang terwujud dalam kasih kepada manusia lainnya sebagai sesama ciptaan Tuhan. Tidak ada lagi sentimen kedaerahan dalam kehidupan keseharian meski desa ini terdiri dari berbagai macam agama, suku, ras, budaya. Karena mendasarkan kasih dalam kehidupan keseharian, maka yang terjadi adalah saling tolong menolong dengan ketulusan dan keiklasan hati, tidak ada lagi iri hati/cemburu, tidak ada lagi kesombongan meskipun ada yang kaya dan miskin, ada yang sebagai pejabat dan rakyat. Meskipun berbeda keyakinan/iman, mereka bekerja sama mengentaskan kemiskinan warga lainnya yang ada didesanya, membangun sarana umum secara bersama. Tidak ada lagi kelompok merah atau putih yang saling berseteru dan saling membinasakan, karena mereka telah melebur menjadi merah-putih seperti bendera kebangsaan yang kita cintai, dimana diartikan merah adalah berani dan putih adalah suci sehingga kita berani karena suci. Bukan membinasakan yang berbeda keyakinan untuk atas nama penyimpangan yang disimbolkan sebagai sebuah perang suci, melainkan saling bergandengan tangan bahu membahu mengurangi penderitaan dan permasalahan untuk menjangkau kehidupan yang lebih berharkat dan bermartabat.


Dan tiba-tiba saya terbangun dari mimpi indah yang panjang karena kaget mendengar bunyi tembakan, dan diriku terjebak dalam pertempuran yang sengit antar sesama anak negeri yang secara kebetulan hanya berbeda suku dan agama, dan aduh minta ampun Tuhan, karena desaku telah menjadi bara api pertempuran yang menghancurkan seluruh harta benda, bahkan kebun coklat dan kopi yang sedang berbuahpun tidak luput dari penghancuran, dan nyawa manusia merenggang karena ditebas atau ditembak seperti layaknya anjing. Aku segera lari pontang panting menyelematkan diri, dan jadilah aku kini salah satu dari ratusan ribu pengungsi yang merana dan terasing dinegeri sendiri. Tuhan ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat, demikian pinta doaku diantara isakan tangisku yang tak mampu lagi meneteskan air mata karena telah kering menangisi proses kehancuran negeriku.

Lahan kritis, siapa mau peduli ?

Menarik menyimak tayangan iklan salah satu produk shampo yang mengatakan “Ketombe, siapa takut ?”. Terlihat begitu percaya dirinya seseorang akan ketiadaan ketombe dalam rambut dikepalanya, apabila sudah menggunakan produk tersebut.
Jika terhadap ketombe saja, kita begitu peduli, lalu bagaimana kepedulian kita terhadap keberadaan lahan kritis yang menjadi asset dan tumpangan hidup bagi sebagian besar warga NTT? Alangkah ironisnya kita, apabila terhadap ketombe yang tidak terlalu membahayakan kehidupan, kita prioritaskan penanganannya, sementara proses perusakan lahan yang menopang kehidupan menuju terbentuknya lahan kritis yang tandus , kita menjadi tidak peduli.

Keberpihakan pada rakyat

Berbicara masalah lahan kritis, sebenarnya kita dapat menggugat kebijakan pembangunan dan hasil-hasilnya selama ini. Kalau kita memperhatikan sektor non pertanian,maka terlihat penanganannya akan lebih diprioritaskan , misal penyediaan kredit untuk usaha bisnis, akan lebih mudah didapatkan dan lebih besar jumlahnya dibanding kredit yang disediakan untuk petani. Demikian pula terkait dengan keuntungan yang diperoleh, terlihat bahwa mereka yang bergerak diluar sektor pertanian akan mendapatkan imbalan jerih payah yang lebih baik dalam hal keuntungan dibanding petani yang membanting tulang menghabiskan waktunya di kebun dengan kerja fisik yang melelahkan. Komoditas hasil pertanian harganya sangat fluktuatip / turun naik tidak tentu dan posisi tawar menawar petani sangat rendah di pasar, sehingga harga sangat ditentukan oleh pemain pasar yang nota bene bukan petani dan sebenarnya merekalah yang saat ini hidup layak menikmati cucuran keringat petani. Kebijakan pemerintahan Orde Baru yang menggunakan petani sebagai landasan/ pondasi pembangunan dan mengorbankan hak-hak petani menyebabkan semakin banyak masyarakat yang tidak mau menggantungkan hidupnya dari hasil bertani.

Kita masih ingat kasus BPPC yang menyebabkan kesengsaraan luar biasa bagi petani cengkeh sehingga membuat petani frustasi dengan cara menebang pohon cengkehnya hanya karena permainan harga oleh penggagas dan pengurus BPPC.

Demikian pula harga kopi yang pernah mencapai titik rendah dan tidak layak, menyebabkan sebagian petani menebang pohon kopinya. Padahal keberadaan tanaman cengkeh dan kopi mampu berfungsi mengurangi erosi yang terjadi di lahan, namun petani tidak terlalu peduli dengan masalah erosi dan kelestarian lingkungan. Yang utama bagi petani adalah adanya nilai ekonomis yang dianggap layak sehingga mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarga mereka. Menjadi tantangan bagi pemerintahan transisi reformis saat ini untuk membuktikan keberpihakannya pada rakyat dengan mengatur tata niaga pertanian yang lebih berpihak dan menguntungkan petani sehingga petani akan melihat lahan/kebun sebagai asset dan kantor tempat keluarganya menggantungkan hidup dari hasil berkantor di kebun.
Siapa yang bertanggung jawab ?

Menyikapi keberadaan lahan kritis yang ada didepan mata kita, yang menjadi pertanyaan adalah siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab untuk menangani permasalahan lahan kritis tersebut ? Yang paling mudah pasti mengatakan bahwa itu adalah tanggung jawab petani sebagai pemilik lahan. Namun kita juga dapat mempertanyakan sampai sejauh mana pendampingan dari dinas-dinas terkait dan pihak –pihak lain yang peduli (Gereja, LSM, Perguruan tinggi, Intelektual, kalangan bisnis dll) ikut mengurangi terjadinya lahan kritis .
Kita tidak dapat dengan serta merta mebebankan semua itu pada pundak petani yang sudah sarat dengan penderitaan dan menyalahkan mereka yang bertani dengan cara tebas bakar dan berpindah-pindah dengan rotasi yang semakin pendek tanpa usaha konservasi lahan dan air sehingga menyebabkan semakin besarnya erosi yang menyebabkan terjadinya lahan kritis. Ketidaktahuan dan sedikitnya informasi yang sampai pada petani serta minimnya pelayanan dan pendampingan kepada mereka, sebenarnya mampu menjadikan kita lebih menyadari perlunya kepedulian kita semua pada kehidupan petani yang sebagian besar masih hidup susah. Meskipun banyak dari kita yang sudah “menjadi orang dan mapan” dengan biaya pendidikan yang didukung dari hasil bertani orang tua kita, namun sering kita lupa menyadari kesulitan yang dihadapi petani dan lebih baik menghindar dengan tidak memilih berprofesi menjadi petani. Maka akan sangat logis jika seorang anak ditanya cita-citanya, tidak akan dengan bangga menyatakan ingin menjadi petani, melainkan dengan bangganya akan mengatakan dirinya ingin menjadi dokter, insinyur dsb. Maka keberadaan lahan kitis sebenarnya menggambarkan coreng moreng kehidupan kita mewujudkan religiositas dan Pancasila dalam kehidupan yang nyata yakni memelihara ciptaan Tuhan YME yang pada awal mulanya baik adanya , dan merupakan titipan anak cucu, bukannya merupakan warisan nenek moyang yang dapat kita perlakukan semau kita.

Solusi alternatip penanganan lahan kritis

Penanganan lahan kritis mau tidak mau harus melibatkan semua pihak yang peduli pada keberlanjutan hidup kita yang bergantung pada hasil lahan untuk mencukupi kebutuhan hidup, terutama makanan kita sehari-hari.

Namun yang harus lebih berperan adalah penyelenggara negara yakni pemerintah dalam hal ini dinas-dinas yang terkait langsung dengan kehidupan petani, karena dinas-dinas inilah yang mempunyai kapasitas yang besar, dukungan yang kuat dan wewenang untuk melakukan pendampingan dan asistensi teknis kepada petani. Mari kita lihat dukungan yang dimiliki dinas seperti SDM , dana, peralatan, sumber informasi, manajemen dll, yang sebenarnya dapat didayagunakan secara maksimal untuk pendampingan pada petani dalam merubah pola pikir dan kebiasaan petani dari pertanian lahan berpindah-pindah , tebas bakar dan tanpa konservasi tanah dan air menuju pertanian lahan menetap, dengan menerapkan teknik konsernvasi lahan dan air, diversifikasi tanaman, penggunaan pupuk organik yang tidak perlu didatangkan dari luar dan harus dibeli, penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan memanfaatkan pestisida botanis sehingga dapat berkelanjutan. Pertanian berkelanjutan dapat menjadi alternatip sistem pertanian yang dikembangkan dan menjadi pilihan petani.
Dalam makalahnya berjudul “Pengembangan Sistem Pertanian Berwasaan Lingkungan Dalam Meyongsong Pertanian Masa Depan”, DR. Ir. Rachman Sutanta MSc menjelaskan tentang Pertanian Berkelanjutan
Pertanian Berkelanjutan adalah keberhasilan mengelola sumber daya untuk pertanian dalam memenuhi perubahan kebutuhan manusia sekaligus mempertahankan dan meningkatkan kualitas lingkungan serta konservasi sumber daya alam (TAC/CGIAR, 1988)
Tujuan Pertanian Berkelanjutan adalah ; Mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah, mempertahankan hasil pada tingkat optimal, mempertahankan dan meningkatkan keragaman hayati dan ekosistem, serta mempertahankan dan meningkatkan kesehatan penduduk dan mahluk lainnya
Menurut Diver dan Talbot, berkelanjutan dalam pembangunan pertanian adalah :membatasi ketergantungan pada energi yang tidak terbarukan senyawa kimia dan bahan mineral, mengurangi pencemaran udara tanah,dan air dari luar usaha tani, memelihara dan mempertahankan keadaan habitat untuk kehidupan alami, melakukan konservasi sumber genetik/plasma nuftah (keaneka ragaman hayati) tanaman maupun hewan yang diperlukan untuk pembangunan pertanian.
Untuk menjadikan lestari, sistem pertanian harus mampu mempertahankan produktivitas ditinjau dari segi ekologsi, sosial, dan tekanan ekonomi maupun sumber daya terbarukan tidak harus mengalami kerusakan ( Sinclair, 1987).
Prinsip-prinsip Pertanian Berkelanjutan adalah ; Aman menurut wawasan lingkungan, menguntungkan menurut pertimbangan ekonomi, diingini menurut pertimbangan social, tanggap beradaptasi terhadap semua bentuk kehidupandan mudah beradaptasi dengan perubahan
Pertanian Berkelanjutan lebih memilih masukan dari luar usaha tani rendah (LEISA = Low External Input Sustainable Agriculture)
Masukan dari luar usaha tani rendah berarti : memanfaatkan bahan lokal, benih lokal, teknologi lokal, kearifan lokal dll, memasukkan tanaman serbaguna (baik sebagai kayu bakar, pupuk, makanan ternak, tanaman penguat teras, tanaman pelindung dll, memakai pupuk organik ( kotoran ternak, kompos, pupuk hijau, humus dll)Melaksanakan Pengendalian Hama terpadu (PHT) dan penggunaan pestisida botanis

Dalam mengatasi lahan kritis, peranan para pemuka agama juga sangat diharapkan dalam meningkatkan spiritualitas petani untuk tidak hanya melihat profesi sebagai petani untuk mendapatkan uang semata, tetapi juga menyediakan bahan makanan untuk sesamanya sebagai perwujudan iman dalam perbuatan. Memberikan penyadaran kepada para petani bahwa membiarkan lahan menjadi kritis dan dibiarkan kosong/tidur berarti membiarkan lahan ciptaan Tuhan menjadi rusak adalah pasti tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan iman yang diyakininya, seperti halnya orang yang diberi talenta namun hanya disimpan saja.

Para pendidik ditantang untuk melakukan penyadaran akan pentingnya menjaga kesuburan dan daya dukung lahan kepada para siswa yang dapat dimulai dari pendidikan anak-anak di sekolah dasar dengan memasukkan pelajaran yang berupa muatan lokal yang materi pelajarannya terkait dengan teknik-tenik konservasi lahan dan air, pelestarian lingkungan yang dapat berupa bahan bacaan bergambar/komik.

Para intelektual ditantang untuk menghasilkan pemikiran yang dapat diterapkan di lahan petani, sehingga penelitian terapan yang dilakukan sebaiknya dilakukan secara partisipatip dengan melibatkan petani yang akan menikmati hasil penelitiannya , dan pada akhirnya hasil penelitian yang menghabiskan dana yang tidak sedikit menjadi tidak mubasir.

LSM-LSM ditantang untuk meningkatkan perannya dalam melakukan pemberdayaan pada tingkat petani sehingga petani siap untuk mengakses dan menerima informasi yang dapat meningkatkan kualitas hidup dan alam lingkungannya

Para pembisnis ditantang untuk membantu petani dalam membangun jaringan pemasaran bersama yang adil , sehingga harga komoditas petani tidak turun naik/ berfluktuasi dan pembagian keuntungan dapat adil dan seimbang. Dengan pembagian keuntungan yang adil serta harga yang layak, petani termotivasi untuk terus berproduksi, sehingga aliran pasokan komoditas pertanian akan lancar dan berkelanjutan yang pada gilirannya juga akan berpengaruh pada keberlanjutan kegiatan bisnis mereka.

Diharapkan dengan kebersamaan dan bergandengan tangannya semua pihak yang peduli pada penanganan lahan kritis dapat mensinergikan kekuatannya dan menjadi lebih berhasil guna dan berdaya guna, daripada saling hanya menyalahkan maupun saling mengaku dirinya yang paling berperan. Dan jika ada pertanyaan tentang lahan kritis, maka kita dengan bangga akan mengatakan siapa takut mengelola untuk kebaikan anak cucu kita ? Semoga Tuhan YME menganugerahkan berkat kepada semua pihak yang berkehendak baik.

Ekonomi kerakyatan, mimpi diatas mimpi ?

Berbicara tentang pembangunan, pasti tidak akan terlepas dari pembangunan ekonomi masyarakat. Dalam masa Orde Baru kita telahmenikmati hasil pembangunan ekonomi dengan dibangunnya infrastruktur dan sarana yang mendukung pengembangan ekonomi seperti jalan, sarana telekomunikasi, listrik, bendungan, pelabuhan , bandara, sarana transpor, penyediaan kredit dll. Namun tanpa kita sadari kita sebagai bangsa terjebak dalam krisis yang pada awalnya berupa krisis moneter, lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi, sosial dan pilitik yang puncaknya terjadi ketika Presiden Soeharto diminta secara paksa lengser dari jabatannya.

Terjadilah euforia reformasi yang gaungnya sampai keseluruh pelosok, dan masyarakat beramai-ramai mempertanyakan dan menggugat kembali kembali konsep dan hasil pembangunan yang telah dilakukan oleh ORBA. Kelompok pendukung ORBA yang utama yakni Golkar diserang dan dihujat habis-habisan sebagai biang dari krisis dan memaksa tokoh-tokohnya untuk tidak keras kepala mempertahankan Golkar sebagai ormas dan menerima dirinya sebagai partai politik. Reformasi dibidang politik mulai bergulir dengan diberikannya kesempatan bagi partai baru untuk ikut dalam pemilu yang dipercepat dengan sistem multi partai. Keberadaan pegawai negeri sebagai kekuatan utama pendukung Golkar dipatahkan dan ABRI yang sekarang kembali menjadi TNI melakukan reposisi, reorientasi dan revitalisasi dan cenderung tidak mau lagi dijadikan alat penguasa serta memperkukuh jati dirinya sebagai alat negara dan tentara rakyat sehingga menjauh dari keterlibatan dalam politik praktis.

Sementara dibidang ekonomi, saat ini kita masih belum jelas arah reformasinya, karena masih begitu kuat terjadi tarik menarik kepentingan antara para konglomerat yang sejak jaman ORBA menjadi tiang penopang pembangunan ekonomi dan yang paling menikmati enaknya kue pemabangunan dengan pengusaha golongan ekonomi menengah dan kecil. Pemerintah terlihat masih bimbang untuk menentukan arah kebijakan pembangunan ekonomi, meskipun kita semua tahu bahwa ekonomi di jaman ORBA dibangun dalam sistem kapitalisme semu dengan konglomerasi yang penuh fasilitas dan KKN dengan para pejabat , dan didukung dengan pinjaman.kredit dari luar negeri yang menggadaikan harga diri bangsa, perusakan dan penghisapan secara sistematis kekayaan negara berupa Sumber Daya Alam ( SDA) yang tak terbarukan seperti minyak tanah, tambang maupun yang terbarukan seperti perusakan hutan dalam wilayah yang sangat luas yang menyebabkan negara tetangga mengklaim Indonesia karena mengirim polusi asap, merusak hutan dan mengurangi paru-paru dunia dll.

Belajar dari kegagalan pembangunan ekonomi di jaman ORBA yang mewariskan setumpuk persoalan , termasuk “mega hutang” yang harus dibayar oleh anak cucu kita, dan adanya bukti bahwa sektor yang bertahan dalam deraan krisis adalah sektor usaha ekonomi menengah dan kecil yang sebagian besar dikelola oleh rakyat kebanyakan, bukan oleh segelintir elit ekonomi yang berlagak sok nasionalis, maka sudah saatnya pemerintah berani mengevaluasi secara independen, transparan dan profesional sistem pembangunan ekonomi ORBA yang mendasarkan pada konglomerasi yang penuh KKN. Jika terbukti dari hasil evaluasi krisis ekonomi karena kesalahan kebijakan ekonomi pemerintahan ORBA, maka sudah seharusnya pemerintahan reformis sekarang tidak mengulangi kesalahan yang sama dan mau tidak mau harus perpaling pada ekonomi yang berbasis pada kesejahteraan rakyat dan pelakunya adalah rakyat itu sendiri.

Ekonomi kerakyatan, tabu ?

Kita masih ingat dengan Prof. DR. Mubiyarto, pakar ekonomi yang berpihak pada rakyat yang pernah mengemukakan ide “Ekonomi Pancasila” namun ditolak oleh pemerintahan ORBA karena pemerintah lebih memilih melindungi kroni-kroninya daripada memihak kepentingan rakyat , dan juga dengan Bapak Koperasi Indonesia yang sangat dihormarti dan disegani yakni Bp. Mohamad Hatta yang terus dengan gigih memperjuangkan kesejahteraan masayarakat Indonesia..
Kedua beliau ini tidak diragukan lagi moralitasnya dalam keberpihakan pada rakyat kebanyakan yang taraf hidunya masih susah (kalau tidak mau disebut miskin), dan beliau terus berusaha dengan segenap daya dan pikirannya untuk secara murni dan konsekuen (meminjam istilah yang sering digunakan pemerintahan ORBA) melaksanakan amanat UUD 45 pasal 33 yang dijiwai oleh Panca Sila, terutama pasal ke lima (Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia). Maka dalam masa pemerintahan sekarang sebenarnya kita tidak perlu merasa tabu dan alergi untuk menggugat kembali kebijakan pembangunan ekonomi di jaman ORBA yang disatu sisi memang terjadi percepatan pembangunan fisik dan ekonomi yang luar biasa, namun disisi lain ditopang oleh kapitalisme semu berupa konglomerasi yang penuh tipu daya, kredit luar negeri yang besar, perusakan SDA dan pengorbanan petani. Kita semua yang peduli pada kesejahteraan rakyat mulai sekarang harus beramai-ramai berani menyuarakan ekonomi kerakyatan yang membangun basisnya dengan bertumpu pada pemberdayaan rakyat di bidang wirausaha, distribusi yang adil dalam kepemilikan asset produksi, kemudahan mengakses kredit untuk pengusaha menengah dan kecil dalam jumlah yang mencukupi, pengelolaan SDA oleh rakyat, dan penyediaan infrastruktur yang merata sampai pedesaan sehingga kegiatan perekonomian desa menjadi hidup dan berkembang .

Prioritas pembangunan sarana berupa jalan, listrik, telekomunikasi yang menjangkau tingkat desa harus dijalankan dan pembangunan tidak lagi hanya di pusat-pusat kota propinsi atau kabupaten dan kecamatan, namun harus menyebar kepelosok-pelosok negeri ini. Anak negeri ini telah rindu untuk ikut merasakan nikmatnya hidup di alam kemerdekaan yang telah dijalani selama lima puluh lima tahun sehingga para perencana di Bappenas maupun Bappeda sebaiknya menyadari untuk tidak lagi hanya menggunakan indikator ekonomi dalam merencanakan dan memutuskan pembangunan jalan beraspal. Anggap saja pembangunan sarana jalan aspal adalah hadiah dari sebuah kemerdekaan bangsa yang berusia 55 tahun dan telah dibayar mahal oleh perjuangan rakyat dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya.

Otda dan ekonomi kerakyatan

Euforia pelaksanaan Otonomi Daerah (Otda) saat ini sehaiknya dipakai sebagai ajang untuk mempertanyakan kembali komitmen pelaku pembangunan dalam kepberpihakannya pada rakyat. Kita sudah sering dan bosan mendengar kata-kata “Suara rakyat adalah suara Tuhan” ; “DPR selalu menyuarakan aspirasi rakyat” “Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyar”; “ ….. abdi negara dan abdi masyarakat”; …. siap melindungi kepentingan rakyat” dll. Begitu banyak retorika dalam kehidupan kita, namun yang saat ini kita butuhkan adalah realitas kehidupan yang lebih baik bagi rakyat. Bagaimana kita semua dapat memikirkan secara bersama-sama untuk meningkatkan harkat dan martabat rakyat kearah tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi kualitasnya. Maka pembangunan ekonomi rakyat menjadi penting digunakan sebagai indikator keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah. Sudah saatnya rakyat diberi peran yang lebih besar dan lebih luas disegala bidang kehidupan ; baik dalam mengelola SDA (hutan, pertambangan rakyat, ekowisata yang berbasis masyarakat, peternakan rakyat, perkebunan rakyat dll) sehingga wajar apabila tidak lagi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang diperkuat, namun BUMR (Badan Usaha Milik Rakyat) ; membangun infrastuktur dan sarana di desanya; merencanakan pembangunan desanya ; memilih pola tanam dan jenis tananamnya dll. Pemerintah daerah berperan menyediakan kredit yang cukup jumlahnya dan mudah diakses oleh pengusaha kecil dan menengah melalui bank yang ada di daerah , menyediakan informasi yang dibutuhkan dalam pengembangan ekonomi rakyat, melakukan pendampingan dalam meningkatkan wawasan dan ketrampilan berbisnis bagi rakyat, membangun jaringan pemasaran yang adil , meningkatkan ketrampilan teknis yang mendukung usaha dll.

Diharapkan dengan pelaksanaan Otda dan pengembangan ekonomi kerakyatan, maka gejolak dan kerusuhan yang disebabkan oleh kesenjangan ekonomi maupun praktek KKN dapat dikurangi karena masyarakat merasa diperhatikan dan ditingkatkan harkat dan martabatnya sebagai warga dari sebuah bangsa yang beradab yang menjunjung tinggi kemanusiaan seperti tertera dalam sila ke-dua Panca Sila yakni Kemanusiaan Yang adil dan beradab. Semoga kita tidak terjerumus dalam anarkisme dan mengurangi potensi kemungkinan terjadinya peradilan oleh rakyat. Mari kita bangun bangsa ini tidak hanya raganya tetapi yang juga tidak kalah penting adalah jiwanya seperti yang sering dikumandangkan dalam lagu